Wajah gelap menyinari hari. Tekuk suram tak tersungging berdiri lemas diambang pintu. Harus masuk? Atau keluar? Simalakama. Kutatap pilu dia yang pilu. Kau pikir kenapa yang gelap bisa bersinar? Itulah keajaiban. Kebaikan itu disematkan melalui cara yang luar biasa sakit. Aku pun berdiri diambang pintu. Langit ikut menangis untukku dari pagi buta. Berharap sinar terang benar-benar menyinari. Tidakkah terpikir oleh bapak saat membangun cinta biadab bersama anjing betina maka kau juga membangun tembok kemelaratan untuk kami semua? Apa daya sekarang kami terkurung dan tak berdaya. Harus menyalahkanmu? Tidak! Karena maaf seharusnya menjadi hal yang paling kau syukuri. Kuberikan secara percuma. Aku tidak pergi, tetap diam menikmati perjalanan. Masa lalu memberikan banyak hadiah. Puing-puingnya sangat menyusahkan! Bukan maksud meratapi, hanya sulit melupakan. Bagaimana tidak, kau taruh itu di atas kepalaku, kau suruh aku memeluknya bersama tidurku.
Memoar puan menawan sejagad pikiran sudah terbit kembali