Wajah gelap menyinari hari. Tekuk suram tak tersungging berdiri lemas diambang pintu. Harus masuk? Atau keluar? Simalakama. Kutatap pilu dia yang pilu. Kau pikir kenapa yang gelap bisa bersinar? Itulah keajaiban. Kebaikan itu disematkan melalui cara yang luar biasa sakit. Aku pun berdiri diambang pintu. Langit ikut menangis untukku dari pagi buta. Berharap sinar terang benar-benar menyinari. Tidakkah terpikir oleh bapak saat membangun cinta biadab bersama anjing betina maka kau juga membangun tembok kemelaratan untuk kami semua? Apa daya sekarang kami terkurung dan tak berdaya. Harus menyalahkanmu? Tidak! Karena maaf seharusnya menjadi hal yang paling kau syukuri. Kuberikan secara percuma. Aku tidak pergi, tetap diam menikmati perjalanan. Masa lalu memberikan banyak hadiah. Puing-puingnya sangat menyusahkan! Bukan maksud meratapi, hanya sulit melupakan. Bagaimana tidak, kau taruh itu di atas kepalaku, kau suruh aku memeluknya bersama tidurku.
Sastra adalah jalan menuju kedalaman pikir yang sangat humanis. Sastra adalah jalan menuju imaji yang berkelana, menyusuri ruang-ruang pikir yang liar, mengikis ceruk-ceruk kepala yang keras akan ego dan pikiran yang tertinggal. Sastra adalah rupa kehidupan yang tidak terbayang di sebegaian benak, membuka mata dan hati untuk maklum dan empati. Jika ada pihak yang membenci karya tulis terlepas yang ada didalamnya, maka sisi humanitasnya dipertanyakan. Siapa yang takut pada buku yang tidak bernyawa? Mengapa? Karena sejatinya sebuah karya dibuat oleh hati yang terbuka dan kepala yang berpikir. Maka bukan ia takut pada buku, melainkan takut pada buah pikir. Buah pikir yang mampu melahirkan kesadaran, kecerdasan, pemahaman, kebijaksanaan. Buah pikir yang mampu melahirkan perlawanan terhadap angkara murka yang sengaja memelihara kebodohan dan IMPUNITAS . Pahitnya, borok-borok itu justru terdapat pada pemimpin negara republik yang dibangun oleh keringat, darah, dan air mata---bahkan nyawa. Di...
Komentar