Mengenang hari dimana puan sangat sungkawa. Senyap disudut, gelap. Kau tahu seringai sudah lama pulang kampung, entah kemana. Berdiam diri disini, sebatas bercerita pada dinding, dingin. Mungkin aku harus sedikit menarik diri. Untuk apa? Bukan maksud membiarkan insekuritas menang, namun satu bagian dari dalam diri berteriak minta disembuhkan. Cemburu pada sosial begitu melelahkan hati. Bagaimana damainya? Terkadang semu bagiku, siapa yang lebih kejam? Wajah masam menatap dari cermin, muram, runyam. Siapa yang tangguh menerjang gelombang pasang? Dia bilang "yang melangkah!" Harus bagaimana aku memulai? Dia bilang "melangkah!" Bagaimana ini? Kacau sekali. Dia bilang "melangkah!" Tolonglah Wahai Sang Penguasa alam, aku ini keledai, aku ini tong kosong, hulu dan hilirku ada dalam genggaman. Dia menatap tajam, "kau pemenangnya!" Tatap muram, ratap runyam, menjelma, mewujudkan diri sebagai tekad. Kulihat wajah di cermin, ada yang bergelora disana. ...
Memoar puan menawan sejagad pikiran sudah terbit kembali