Langsung ke konten utama

Catatan 23

  Mengenang hari dimana puan sangat sungkawa. Senyap disudut, gelap. Kau tahu seringai sudah lama pulang kampung, entah kemana. Berdiam diri disini, sebatas bercerita pada dinding, dingin.
Mungkin aku harus sedikit menarik diri. Untuk apa? Bukan maksud membiarkan insekuritas menang, namun satu bagian dari dalam diri berteriak minta disembuhkan. Cemburu pada sosial begitu melelahkan hati. Bagaimana damainya? Terkadang semu bagiku, siapa yang lebih kejam?
Wajah masam menatap dari cermin, muram, runyam. Siapa yang tangguh menerjang gelombang pasang? Dia bilang "yang melangkah!" Harus bagaimana aku memulai? Dia bilang "melangkah!" Bagaimana ini? Kacau sekali. Dia bilang "melangkah!" Tolonglah Wahai Sang Penguasa alam, aku ini keledai, aku ini tong kosong, hulu dan hilirku ada dalam genggaman. Dia menatap tajam, "kau pemenangnya!" Tatap muram, ratap runyam, menjelma, mewujudkan diri sebagai tekad. Kulihat wajah di cermin, ada yang bergelora disana. Wanita muda yang masih dengan insekuritasnya, namun kali ini memegang asa.
  Mengenang seringai bahagia yang lama tak pulang, aku duduk kembali pada kursi lama di pikiranku. Jika tak kunjung kembali, kita ciptakan seringai baru. Sampai kapan suka cita hanya menjadi bayangan?
  Lama aku terduduk, bukan benci, bukan juga menghindar dari hiruk pikuk kehidupan sosial. Aku sedang mengajak sesuatu dalam diriku untuk berdamai. Tidak semua pohon yang kau tanam tumbuh sejajar, aku adalah yang tak biasa.
  Hari itu, aku keluar dari pintu menuju pekarangan, menemuimu yang mungkin sedang atau selesai mengembara. Sekejap kau terheran, "bagaimana bisa kau tak senyap lagi?"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

22 Mar 2025

Sastra adalah jalan menuju kedalaman pikir yang sangat humanis. Sastra adalah jalan menuju imaji yang berkelana, menyusuri ruang-ruang pikir yang liar, mengikis ceruk-ceruk kepala yang keras akan ego dan pikiran yang tertinggal. Sastra adalah rupa kehidupan yang tidak terbayang di sebegaian benak, membuka mata dan hati untuk maklum dan empati. Jika ada pihak yang membenci karya tulis terlepas yang ada didalamnya, maka sisi humanitasnya dipertanyakan. Siapa yang takut pada buku yang tidak bernyawa? Mengapa? Karena sejatinya sebuah karya dibuat oleh hati yang terbuka dan kepala yang berpikir. Maka bukan ia takut pada buku, melainkan takut pada buah pikir. Buah pikir yang mampu melahirkan kesadaran, kecerdasan, pemahaman, kebijaksanaan. Buah pikir yang mampu melahirkan perlawanan terhadap angkara murka yang sengaja memelihara kebodohan dan IMPUNITAS . Pahitnya, borok-borok itu justru terdapat pada pemimpin negara republik yang dibangun oleh keringat, darah, dan air mata---bahkan nyawa. Di...
Bap, I lost again. Aku tidak bisa menemukan yang seperti kamu di dunia yang berhampar-hampar ini. Yang ada mereka lebih dari kamu, Bap— dan aku tidak bisa. Aku tidak bisa menyamakan pucuk pada pohon yang kami tanam. Aku takut, jika terus saja begini, rantingnya akan patah dan aku jatuh, lagi dan lagi. Ahh Bap… how’s heaven? Boleh aku ikut saja kesana di pangkuan Bap? Kami tidak membawa bunga Bap kemarin, kami membawa hati yang penuh seperti yang sudah-sudah. Aku merasa Bap sudah menunggu ya dari sana? Selamanya Bap akan hidup dalam hati kami, dalam do’a kami, dalam tulisan ini.  Salam cinta untuk Bap, we miss you a lot🤍