Hai
Itu dia kelinci hutan
Aku tidak sama sekali melihatmu dipikiranku, aku tidak menemukannya. Namun hari ini seorang anak kecil mengetuk pintu. Aku tidak membukanya, lalu aku pergi pada buku catatan, hanya sesekali sebagai ganti bahwa aku tidak bisa menemukan dirimu dan diriku. Menumpahkan darah pada catatan itu tidak dibenarkan, namun apa boleh buat ketika aku tidak sengaja membacanya. Aku sangat mengetahui itu ditujukan untuk siapa. Apakah dihutan, orang biasa memanggil nama orang lain dengan bunga?
Mungkinkah sesekali ada kilat melintas didepan jendela? Walau aku mengerti tidak mungkin engkau datang dan melintas, tidak mungkin. Aku membutuhkan waktu untuk mengeringkan tinta, aku tidak bisa meninggalkan tulisan yang belum selesai. Berlalunya musim tidak berarti apa-apa, aku semakin tua dan semakin menyesali hal-hal yang kulalui di pondok tua dunia. Menyenangkan sekali hidup tanpa sekeranjang penyesalan? Kau bisa berlalu dan tidak pernah berat pundakmu.
Saat semakin surut, jendela mulai terbuka, aku berdo'a agar kau dituntun pada titik paling terang dalam kehidupan. Bertemu dirimu adalah keajaiban, walau di dunia semua ini akan terdengar seperti sapuan daun kering, tidak berguna. Namun benar adanya, bahwa dari balik jendela doa-doa itu terpanjat bersama bergantinya hari, bersama semua asa yang disimpan dalam keranjang roti. Tidak sempat aku menyampaikan apapun, aku mengerti semua kebenaran yang kau dapat mengenai bunga yang kau sebut. Tidak pantas kau menyebutnya dengan bunga, sebut saja duri-nya. Apakah ada yang lebih buruk dari duri? Sebutlah.
Pada halaman selanjutnya, semoga tidak pernah kau tulis catatan mengenai mahluk buruk seperti itu, sungguh sangat menodai buku yang kau susun. Bersihkan saja. Tulis saja halaman-halaman indah dirimu yang terus berlari. Aku takut suatu hari tidak bisa menahan diri. Meminta untuk tidak disalah pahami pun apa gunanya, angin telah berlalu. Saat aku menulis ini, langit yang menaungiku berubah menjadi gelap. Apakah ada anak lain yang membisikan hal lain? Padahal aku diam-diam, aku berlaga tidak bergeming oleh kencangnya angin dunia. Dari kejauhan aku hanya melihat tabir yang menutupi, untuk sementara bernaung disini terasa menenangkan. Maafkan aku jika kebenaran yang datang di pintumu membuatmu ingin melempar bejana. Lempar saja ke wajahku. Maafkan aku yang dahulu tidak pandai. Maafkan aku yang menuliskan caramu berlari dalam catatan, segera setelah ini kurasa selesai, aku akan menyimpannya di dapur yang tidak akan mampu siapapun menjamah. Maafkan aku untuk terakhir kalinya. Maafkan aku yang mengatasnamakan dirimu dalam puisi yang berbinar. Sudah seharusnya memang kau beranjak jauh berlayar ke hilir. Jangan pernah mengingat arus ini. Aku tidak akan sanggup menahan malu.
Tanpa siapapun menuliskan, kau diselamatkan oleh jalan cerita yang membawamu pada kesadaran mengenai siapa aku yang kau tuliskan dengan nama bunga. Sekali lagi, aku tidak suka nama itu, cari yang lebih buruk. Itu terlalu bagus untukku.
Jika sampai padamu apa yang kubawa ini, tolong temui aku sebentar di tepian.
Aku hanya ingin menyanggah, atau mungkin aku akan mengubur diri, aku tidak bisa memastikan. Jika kau sampai pada cerita ini, jika kau sampai disini, ketahuilah bahwa dalam mengarungi besarnya gelombang, kekuatan kita tidak dilihat pada saat keberhasilan diraih dengan melewati derasnya, namun bagaimana kita tetap tegar pada setiap arus yang membuat kita terombang-ambing. Walaupun dihadapanmu aku tidak memiliki apapun tersisa untuk ditunjukan, aku hanya memiliki tulisan ini sebagai tanda kekuatanku.
Bila tidak pernah kau di arahkan menuju jendela ini, aku harap Tuhan sudah membuatmu mengerti.
Komentar