Masa lalu memberitahuku bahwa teman adalah sesuatu yang mudah menghilang. Ketika hati ini telah berkomitmen setulus hati untuk selalu bersama juga saling menjaga, hati yang lain hanyalah menganggap diri ini rival yang harus dikalahkan. Ketika hati bersyukur Tuhan mengirim hadiah dalam bentuk seorang teman, hati yang lain justru menganggap diri ini lawan yang berbahaya. Sungguh rasanya seperti dikhianati. Terlihat manis sekali padahal dalam hati tidak ingin kalah dan tertinggal sedikitpun. Mengakui keberadaan hanya ketika membutuhkan. Menengok keadaan hanya sebatas formalitas. Hanya karena hidup harus berteman, maka segala yang palsu dilakukan. Tersenyum padahal hatimu berpaling. Kenapa harus melakukan apa yang tidak ingin dilakukan? Untuk menjaga hati seseorang? Menjaga hati dengan memalsukan senyuman dan pujian yang terurai dari mulut itu? Rasanya ketulusan sudah menjadi barang langka. Jika benar saling menyayangi, mengapa kau picingkan mata ketika terjadi kesalahan? Membutakan perasaan dengan mengucap bahwa itu adalah baik, tidak menegur apalagi membenarkan. Buka mata pada sesuatu yang tak terlihat jauh dalam hati. Tertawa jika salah satu mengalami keterpurukan. Hanya percaya pada apa yang dilihat dan didengar, bukan pada perasaan. Jujur dan tulus. Hanya itu. Jika tidak suka abaikan dan jangan menyiksa hati untuk berbohong, memaksa bibir tersenyum dan akhirnya berkata yang penuh dusta. Pengabaian itu lebih dihargai daripada mengucap kepedulian yang tidak benar-benar igin dilakukan. Menghargai satu sama lain bukan berarti selalu membohongi diri sendiri. Menerima setulus hati bukan berarti merelakan hati selalu tersakiti. Teman itu ada dan abadi. Ya, dalam hati dan imajinasi.
Sastra adalah jalan menuju kedalaman pikir yang sangat humanis. Sastra adalah jalan menuju imaji yang berkelana, menyusuri ruang-ruang pikir yang liar, mengikis ceruk-ceruk kepala yang keras akan ego dan pikiran yang tertinggal. Sastra adalah rupa kehidupan yang tidak terbayang di sebegaian benak, membuka mata dan hati untuk maklum dan empati. Jika ada pihak yang membenci karya tulis terlepas yang ada didalamnya, maka sisi humanitasnya dipertanyakan. Siapa yang takut pada buku yang tidak bernyawa? Mengapa? Karena sejatinya sebuah karya dibuat oleh hati yang terbuka dan kepala yang berpikir. Maka bukan ia takut pada buku, melainkan takut pada buah pikir. Buah pikir yang mampu melahirkan kesadaran, kecerdasan, pemahaman, kebijaksanaan. Buah pikir yang mampu melahirkan perlawanan terhadap angkara murka yang sengaja memelihara kebodohan dan IMPUNITAS . Pahitnya, borok-borok itu justru terdapat pada pemimpin negara republik yang dibangun oleh keringat, darah, dan air mata---bahkan nyawa. Di...
Komentar