Bisa kau beri aku kekuatan? Kekuatan untuk senantiasa lapang dada menerima ketentuan yang telah selesai Tuhan tuliskan untukku. Mengapa terasa begitu pilu? Dia tunjukan celanya dihadapku dan aku pantang untuk menghinanya. Lelahku padanya sungguh tak bisa kugambarkan lagi namun aku harus tetap hormat, menjunjung tinggi dirinya, meletakkan segala kepentingannya diatas kepala. Melawannya aku berdosa. Melakukan segalanya atas nama cinta. Apa daya diri yang bodoh ini. Ujian cinta, bukan tentang jarak yang memisahkan dua hati tapi bertahan tetap mencintai setulus hati dia yang menyakiti, pun dengan segenap hatinya. Yang tercinta seakan tidak mencinta. Semakin terasa menguras hati ketika pemain drama ini adalah dia, belahan jiwamu. Tidakkah Tuhan mengirimku pada orang yang lebih baik daripadanya? Tidak! Inilah ketentuannya! Beri aku kekuatan untuk tidak membenci.
Sastra adalah jalan menuju kedalaman pikir yang sangat humanis. Sastra adalah jalan menuju imaji yang berkelana, menyusuri ruang-ruang pikir yang liar, mengikis ceruk-ceruk kepala yang keras akan ego dan pikiran yang tertinggal. Sastra adalah rupa kehidupan yang tidak terbayang di sebegaian benak, membuka mata dan hati untuk maklum dan empati. Jika ada pihak yang membenci karya tulis terlepas yang ada didalamnya, maka sisi humanitasnya dipertanyakan. Siapa yang takut pada buku yang tidak bernyawa? Mengapa? Karena sejatinya sebuah karya dibuat oleh hati yang terbuka dan kepala yang berpikir. Maka bukan ia takut pada buku, melainkan takut pada buah pikir. Buah pikir yang mampu melahirkan kesadaran, kecerdasan, pemahaman, kebijaksanaan. Buah pikir yang mampu melahirkan perlawanan terhadap angkara murka yang sengaja memelihara kebodohan dan IMPUNITAS . Pahitnya, borok-borok itu justru terdapat pada pemimpin negara republik yang dibangun oleh keringat, darah, dan air mata---bahkan nyawa. Di...
Komentar