Langsung ke konten utama

Catatan10

  Dipeganglah tangannya saat ia ingin terjun ke jurang, kubujuk sampai lengan ini pun berdarah, mengira bahwa omongku masuk ke hatinya ternyata dia mengolok-olok si rendahan ini. Susah payah diri ini meyakinkan kegelapan pergi dari hati. Aku muak dengan 666. Dia mencintainya, aku kira memujanya. Sungguh dia jadikan itu sesuatu yang menarik, selalu dibicarakan, selalu dijadikan jalan terakhir untuk pulang. Mengeluh tentang masa lalu dan dia senang berada di tepi jurang. Bermain-main disana untuk menarik perhatian. Dia pikir dia siapa? Tidakkah ia tahu apa yang aku pikirkan tentangnya? Picik! Sungguh dia seperti itu. Saat aku yang berada di tepi jurang, dia berkata aku selalu memegang tanganmu, kemudian berlalu. Meninggalkan rapuh dalam diriku. Pergi untuk mengejar sesuatu, sesuatu yang dia bilang untukku. Kalau aku benar-benar tenggelam, apa yang dia kejar itu masih berlaku? Kupikir orang akan melakukan yang sama, namun tidak demikian. Betapa dia tak kan mengetahui sulit dan sakitnya berpegangan dengan satu tangan, sedang tangan kananku sudah dia buat terluka. Mengertilah sekarang mengapa kau tak boleh berharap pada manusia. Mungkin Tuhan mencemburui hati keji ini yang sudah salah memilih. Akhirnya, dilepaslah dia bersama seluruh miliknya. Cintanya, kata-katanya, janji manisnya, diserahkan semua kembali padanya. Kulepas pegangan ku pada tali hidupnya dan biar dia mengejar apa yang menjadi ambisi. Bicara soal sakit hati, aku benci mendengar itu dari mulutnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

22 Mar 2025

Sastra adalah jalan menuju kedalaman pikir yang sangat humanis. Sastra adalah jalan menuju imaji yang berkelana, menyusuri ruang-ruang pikir yang liar, mengikis ceruk-ceruk kepala yang keras akan ego dan pikiran yang tertinggal. Sastra adalah rupa kehidupan yang tidak terbayang di sebegaian benak, membuka mata dan hati untuk maklum dan empati. Jika ada pihak yang membenci karya tulis terlepas yang ada didalamnya, maka sisi humanitasnya dipertanyakan. Siapa yang takut pada buku yang tidak bernyawa? Mengapa? Karena sejatinya sebuah karya dibuat oleh hati yang terbuka dan kepala yang berpikir. Maka bukan ia takut pada buku, melainkan takut pada buah pikir. Buah pikir yang mampu melahirkan kesadaran, kecerdasan, pemahaman, kebijaksanaan. Buah pikir yang mampu melahirkan perlawanan terhadap angkara murka yang sengaja memelihara kebodohan dan IMPUNITAS . Pahitnya, borok-borok itu justru terdapat pada pemimpin negara republik yang dibangun oleh keringat, darah, dan air mata---bahkan nyawa. Di...
Bap, I lost again. Aku tidak bisa menemukan yang seperti kamu di dunia yang berhampar-hampar ini. Yang ada mereka lebih dari kamu, Bap— dan aku tidak bisa. Aku tidak bisa menyamakan pucuk pada pohon yang kami tanam. Aku takut, jika terus saja begini, rantingnya akan patah dan aku jatuh, lagi dan lagi. Ahh Bap… how’s heaven? Boleh aku ikut saja kesana di pangkuan Bap? Kami tidak membawa bunga Bap kemarin, kami membawa hati yang penuh seperti yang sudah-sudah. Aku merasa Bap sudah menunggu ya dari sana? Selamanya Bap akan hidup dalam hati kami, dalam do’a kami, dalam tulisan ini.  Salam cinta untuk Bap, we miss you a lot🤍