Seseorang yang memilih bunuh diri sebagai pilihan terakhir itu sangatlah salah, sangat bodoh, begitu bukan? Hampir semua orang berpikiran seperti itu. Aku tidak ingin mengatakan bahwa membunuh diri sendiri itu tidak salah dan tidak bodoh. Sungguh aku tidak suka berkata seperti itu. Namun aku sangat ingin menegaskan bahwa lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap kondisi psikis seseorang. Cara seseorang mengambil keputusan, menentukan arah kehidupan, mencari dan membentuk jati diri, itu semua sangat dipengaruhi oleh lingkungan, baik itu lingkungan keluarga, pertemanan, atau sekitar tempat tinggal.
Jika seseorang memilih untuk terjun dari lantai 13 atau menggantung dirinya di balkon bahkan menyayat nadinya dengan begitu sakitnya, tidakkah terbayang betapa kejamnya lingkungan tempat dia bernaung, tidakkah terpikir apa yang salah dengan lingkungannya. Mengapa yang disebut bodoh hanya dia yang dengan pilu dan penuh tekanan berani menghilangkan nyawanya sendiri. Dimana mereka yang berkata akan selalu ada, mendampingi, melindungi, mengarahkan dengan penuh cinta kasih sayang? Bahkan untuk mendengarkan saja telinga mereka mendadak hilang. Dimana mereka yang berkata akan terus memegang tangan, menepuk pundak, membantu untuk berdiri dan menciptakan sedikit senyuman? Bahkan mereka saling menginjak untuk menguatkan posisi. Dimana? Kau tahu dimana? Disana! Ditempatnya masing-masing. Ada yang sedang menangis karena merasa bersalah, ada yang sedang menghakimi, ada yang sedang tidak peduli, ada yang sedang berdoa, sampai ada yang berbisik-bisik bukan tentang kebaikan tapi kebusukan dan hujatan. Mereka disana dengan segala kesenangan hidupnya, pun dengan duka dalam hidupnya, tertawa, menangis, kecewa, mereka berbagi semuanya di media umum kaum milenialis. Apa mereka lupa ada yang sedang tertatih dan berdarah-darah untuk bertahan hidup? Apa tidak terlihat dari jendela rumah mereka ada yang melambaikan tangan meminta bahkan mengemis pertolongan, berharap ada yang menarik dari lumpur hitam sebelum benar-benar tenggelam. Ketika seseorang menyerah, mulut mereka tidak berhenti berbusa. Siapa yang bodoh? Siapa yang terlalu buta? Siapa yang tidak punya pikiran? Mereka pikir orang yang berTuhan tidak akan pernah membunuh dirinya sendiri, yang menyebabkan seseorang merasa tidak berguna, tidak dibutuhkan, dan terluka sangat dalam sehingga memutuskan mengakhiri hidupnya apakah itu juga disebut berTuhan?! Sungguh, terkadang lingkungan sangat menghina kondisi seseorang, mempermainkan dan mengolok-olok kehidupan, tanpa tanggung jawab, tanpa rasa iba, dan tentu saja tanpa ampun. Aku berani berkata itu lebih rendah dari dia yang membunuh dirinya.
Aku sangat berduka untuk orang-orang yang memilih jalan kejam di akhir hidupnya. Apa poros kehidupan yang dimiliki setiap orang membuat ego yang juga dimilikinya semakin tinggi? Kehidupan apa ini?! Gemas sekali rasanya tapi memang begitulah kenyataanya. Ini perspektif. Ini pengalaman.
Ku ucapkan juga hai sekelompok manusia, menjadikan bunuh diri sebagai lelucon untuk menarik perhatian orang adalah kejam yang kekanak-kanakan. Lebih bodoh dari keledai. Bermain-main dengan emosi orang lain, membuat orang lain tertekan sementara diri sendiri tertekan. Tertawa menang ketika melihat simpati datang. Licik. Ini semacam peringatan, untukku dan untukmu.
Jika seseorang memilih untuk terjun dari lantai 13 atau menggantung dirinya di balkon bahkan menyayat nadinya dengan begitu sakitnya, tidakkah terbayang betapa kejamnya lingkungan tempat dia bernaung, tidakkah terpikir apa yang salah dengan lingkungannya. Mengapa yang disebut bodoh hanya dia yang dengan pilu dan penuh tekanan berani menghilangkan nyawanya sendiri. Dimana mereka yang berkata akan selalu ada, mendampingi, melindungi, mengarahkan dengan penuh cinta kasih sayang? Bahkan untuk mendengarkan saja telinga mereka mendadak hilang. Dimana mereka yang berkata akan terus memegang tangan, menepuk pundak, membantu untuk berdiri dan menciptakan sedikit senyuman? Bahkan mereka saling menginjak untuk menguatkan posisi. Dimana? Kau tahu dimana? Disana! Ditempatnya masing-masing. Ada yang sedang menangis karena merasa bersalah, ada yang sedang menghakimi, ada yang sedang tidak peduli, ada yang sedang berdoa, sampai ada yang berbisik-bisik bukan tentang kebaikan tapi kebusukan dan hujatan. Mereka disana dengan segala kesenangan hidupnya, pun dengan duka dalam hidupnya, tertawa, menangis, kecewa, mereka berbagi semuanya di media umum kaum milenialis. Apa mereka lupa ada yang sedang tertatih dan berdarah-darah untuk bertahan hidup? Apa tidak terlihat dari jendela rumah mereka ada yang melambaikan tangan meminta bahkan mengemis pertolongan, berharap ada yang menarik dari lumpur hitam sebelum benar-benar tenggelam. Ketika seseorang menyerah, mulut mereka tidak berhenti berbusa. Siapa yang bodoh? Siapa yang terlalu buta? Siapa yang tidak punya pikiran? Mereka pikir orang yang berTuhan tidak akan pernah membunuh dirinya sendiri, yang menyebabkan seseorang merasa tidak berguna, tidak dibutuhkan, dan terluka sangat dalam sehingga memutuskan mengakhiri hidupnya apakah itu juga disebut berTuhan?! Sungguh, terkadang lingkungan sangat menghina kondisi seseorang, mempermainkan dan mengolok-olok kehidupan, tanpa tanggung jawab, tanpa rasa iba, dan tentu saja tanpa ampun. Aku berani berkata itu lebih rendah dari dia yang membunuh dirinya.
Aku sangat berduka untuk orang-orang yang memilih jalan kejam di akhir hidupnya. Apa poros kehidupan yang dimiliki setiap orang membuat ego yang juga dimilikinya semakin tinggi? Kehidupan apa ini?! Gemas sekali rasanya tapi memang begitulah kenyataanya. Ini perspektif. Ini pengalaman.
Ku ucapkan juga hai sekelompok manusia, menjadikan bunuh diri sebagai lelucon untuk menarik perhatian orang adalah kejam yang kekanak-kanakan. Lebih bodoh dari keledai. Bermain-main dengan emosi orang lain, membuat orang lain tertekan sementara diri sendiri tertekan. Tertawa menang ketika melihat simpati datang. Licik. Ini semacam peringatan, untukku dan untukmu.
Komentar