Kembali lagi pada frasa dari hatiku, aku menyulam kata menjadi sebuah jalan. Tak kutemui caranya menyampaikan. Aku diam, duduk pada awan. Mengeja satu persatu apa yang ingin kutuang. Racun tertuang. Hatiku padam. Dilusi membunuhku dengan hati-hati dan pelan-pelan. Semacam berada dalam ruang tunggu, aku tidak bisa pergi. Hatiku tidak menang melawan insekuritas. Aku duduk pada awan, melihatmu berlalu lalang. Melihatnya, menarik kakiku. Melihat mereka, sedikit melirikku. Dari tempat aku duduk, aku cemburu pada duniamu. Pantas jika aku pijakkan kaki disana? Aku terlalu rendah diri untuk menyamakan kepalaku denganmu. Sulitnya melawan iblis dalam hati, andai kau lihat. Telingaku jatuh, mulutku busuk, apa lagi? Pergilah, tak kan kau temukan bahagia bersama aku yang melayang-layang, tidak pasti, tidak tetap. Kau lebih dari bunga dalam ceritaku, aku mencintaimu.
Sastra adalah jalan menuju kedalaman pikir yang sangat humanis. Sastra adalah jalan menuju imaji yang berkelana, menyusuri ruang-ruang pikir yang liar, mengikis ceruk-ceruk kepala yang keras akan ego dan pikiran yang tertinggal. Sastra adalah rupa kehidupan yang tidak terbayang di sebegaian benak, membuka mata dan hati untuk maklum dan empati. Jika ada pihak yang membenci karya tulis terlepas yang ada didalamnya, maka sisi humanitasnya dipertanyakan. Siapa yang takut pada buku yang tidak bernyawa? Mengapa? Karena sejatinya sebuah karya dibuat oleh hati yang terbuka dan kepala yang berpikir. Maka bukan ia takut pada buku, melainkan takut pada buah pikir. Buah pikir yang mampu melahirkan kesadaran, kecerdasan, pemahaman, kebijaksanaan. Buah pikir yang mampu melahirkan perlawanan terhadap angkara murka yang sengaja memelihara kebodohan dan IMPUNITAS . Pahitnya, borok-borok itu justru terdapat pada pemimpin negara republik yang dibangun oleh keringat, darah, dan air mata---bahkan nyawa. Di...
Komentar