Langsung ke konten utama

Catatan 25 - Insecurity

  Riuh diluar sana, hanya aku yang sunyi disini. Atau telingaku saja telah membusuk? Terlempar ke kubangan kotoran mulut-mulut sampah yang sangat penasaran. Aku buang saja, berpura-pura tidak mendengar. Aku mencoba menjadi seorang sosial namun aku terlanjur membuang telingaku. Aku tidak mengerti apa yang mereka katakan, tanyakan. Suatu waktu, aku bertanya apakah itu kepedulian? Ternyata mereka hanya peduli pada suatu bersifat gunjingan. Aku menarik mahkotaku, sinarku, dan keberanianku, aku duduk pada ruang dingin di rumahku. Sendiri bersama ceritaku dan aku selamat dari berisik yang mencekik. "Untuk sementara ini, kita diam disudut ini, ada dinding sebagai teman dan kita akan baik-baik saja."
  Aku sembunyi dalam senyuman, tertatih menegakkan tubuhku yang keropos digerogoti duka cita. Aku menyapa teman dengan sangat biasa, duduk diantaranya, mulai berkata-kata dan mereka tak percaya. Aku sedang menginjak bara tapi mereka menumpahkan bara, di kepala. Aku diam sungguh tak banyak bicara, aku mendengar mereka bicara kehebatan tangannya, dunianya yang luar biasa. Aku masih dalam diam, memperhatikan mereka bicara kebaikan, kemanusiaan, dan Tuhan. Aku percaya, hanya saja,  mengapa mereka hanya bicara? Aku diam, memendam apa yang terlanjur padam. Hatiku padam. Hanya ada puing-puing kepedihan yang tak sudi lagi diperdengarkan. Lagi, aku menarik keberanianku untuk ada diantara mereka. Aku duduk dengan bara menyala di kakiku, mengantarkan aku kembali ke ruang dingin di rumahku. "Cukup, kita aman disini, kita selamat dari mereka yang tak punya telinga, walau kita juga busuk tanpa telinga."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

22 Mar 2025

Sastra adalah jalan menuju kedalaman pikir yang sangat humanis. Sastra adalah jalan menuju imaji yang berkelana, menyusuri ruang-ruang pikir yang liar, mengikis ceruk-ceruk kepala yang keras akan ego dan pikiran yang tertinggal. Sastra adalah rupa kehidupan yang tidak terbayang di sebegaian benak, membuka mata dan hati untuk maklum dan empati. Jika ada pihak yang membenci karya tulis terlepas yang ada didalamnya, maka sisi humanitasnya dipertanyakan. Siapa yang takut pada buku yang tidak bernyawa? Mengapa? Karena sejatinya sebuah karya dibuat oleh hati yang terbuka dan kepala yang berpikir. Maka bukan ia takut pada buku, melainkan takut pada buah pikir. Buah pikir yang mampu melahirkan kesadaran, kecerdasan, pemahaman, kebijaksanaan. Buah pikir yang mampu melahirkan perlawanan terhadap angkara murka yang sengaja memelihara kebodohan dan IMPUNITAS . Pahitnya, borok-borok itu justru terdapat pada pemimpin negara republik yang dibangun oleh keringat, darah, dan air mata---bahkan nyawa. Di...
Bap, I lost again. Aku tidak bisa menemukan yang seperti kamu di dunia yang berhampar-hampar ini. Yang ada mereka lebih dari kamu, Bap— dan aku tidak bisa. Aku tidak bisa menyamakan pucuk pada pohon yang kami tanam. Aku takut, jika terus saja begini, rantingnya akan patah dan aku jatuh, lagi dan lagi. Ahh Bap… how’s heaven? Boleh aku ikut saja kesana di pangkuan Bap? Kami tidak membawa bunga Bap kemarin, kami membawa hati yang penuh seperti yang sudah-sudah. Aku merasa Bap sudah menunggu ya dari sana? Selamanya Bap akan hidup dalam hati kami, dalam do’a kami, dalam tulisan ini.  Salam cinta untuk Bap, we miss you a lot🤍