Langsung ke konten utama

Catatan 26 (Anxiety)

  Bertahan dengan pedang pada dadaku aku hampir lenyap. Aku bersandar barang sebentar pada awan hitam berbau busuk. Sangat tersiksa. Satu per satu kenangan muncul, kenangan silam yang kelam, yang mengantarku sampai pada titik ini. Aku bertanya, untuk inikah Tuhan mencipta? Tak aku mengerti sama sekali. Aku mulai mengandai-andai bila begini bila begitu, tenggelam pada masa kehancuran di ceruk-ceruk pikiran. Suatu pengandaian yang membawaku pada penyesalan tak berujung. Mulai kutemui cacad pada diriku, mulai muncul keinginan merontokan kulitku. Aku malu, aku tidak bisa,semua ini sangat menyiksa, rasa dimana aku menjadi orang yang paling salah. Aku dipegang carut marut pikiran. Aku berantakan.   Puing masa lalu bersama baunya bersama kengeriannya, hangusnya, hitamnya, tersimpan baik dalam saku celana. Aku bawa kemana-mana busuknya tak sadar aku tetap menggenggam duri. Kubuka selimutku tapi masih terasa sesak. Kabut hitam masa lalu tidak menyingkap. Aku lihat satu titik didepanku, namun mata telinga terjatuh dan membusuk. Tidak mengetahui, tidak memahami, tidak ada niat untuk beranjak dari lantai, darah menggenang. Aku diam, duduk pada arang, hitam legam segalanya. Meratap pun aku tidak mampu. Aku tidak tahu arah. Kemana harus kubawa tubuh yang berdarah-darah. Aku diam, bersembunyi dari mulut-mulut kejam. Bersembunyi dari ketidakadilan yang kejam, kehidupan jahanam, selama bertahun-tahun. Biarkan diri ini tenggelam dalam buai sengsara. Nasib dan takdir adalah dua hal yang harus diimani. Iyakah aku menolak karunia Tuhan? Sayang, keberanianku ditebas ansietas, tegas, lugas. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

22 Mar 2025

Sastra adalah jalan menuju kedalaman pikir yang sangat humanis. Sastra adalah jalan menuju imaji yang berkelana, menyusuri ruang-ruang pikir yang liar, mengikis ceruk-ceruk kepala yang keras akan ego dan pikiran yang tertinggal. Sastra adalah rupa kehidupan yang tidak terbayang di sebegaian benak, membuka mata dan hati untuk maklum dan empati. Jika ada pihak yang membenci karya tulis terlepas yang ada didalamnya, maka sisi humanitasnya dipertanyakan. Siapa yang takut pada buku yang tidak bernyawa? Mengapa? Karena sejatinya sebuah karya dibuat oleh hati yang terbuka dan kepala yang berpikir. Maka bukan ia takut pada buku, melainkan takut pada buah pikir. Buah pikir yang mampu melahirkan kesadaran, kecerdasan, pemahaman, kebijaksanaan. Buah pikir yang mampu melahirkan perlawanan terhadap angkara murka yang sengaja memelihara kebodohan dan IMPUNITAS . Pahitnya, borok-borok itu justru terdapat pada pemimpin negara republik yang dibangun oleh keringat, darah, dan air mata---bahkan nyawa. Di...
Bap, I lost again. Aku tidak bisa menemukan yang seperti kamu di dunia yang berhampar-hampar ini. Yang ada mereka lebih dari kamu, Bap— dan aku tidak bisa. Aku tidak bisa menyamakan pucuk pada pohon yang kami tanam. Aku takut, jika terus saja begini, rantingnya akan patah dan aku jatuh, lagi dan lagi. Ahh Bap… how’s heaven? Boleh aku ikut saja kesana di pangkuan Bap? Kami tidak membawa bunga Bap kemarin, kami membawa hati yang penuh seperti yang sudah-sudah. Aku merasa Bap sudah menunggu ya dari sana? Selamanya Bap akan hidup dalam hati kami, dalam do’a kami, dalam tulisan ini.  Salam cinta untuk Bap, we miss you a lot🤍