Langsung ke konten utama

Catatan 31

Masa yang sangat letih itu melahirkan ketidakmampuan mengungkap rasa. Pandai memindai rahasia yang disimpan sedalam-dalamnya lubuk. Sampai aku temukan cara untuk mengeluarkannya perlahan-lahan, karena aku tidak ingin membusuk perlahan-lahan. Aku sebut ini seni mengubah derita lara menjadi sesuatu yang ramah untuk dirasa, melalui frasa. Menulis untuk menceritakan rasa adalah lapang dada. Mengemis rasa untuk menulis adalah benar, tapi memalukan. Ini adalah cara membuat rasa ngeri kebobrokan, kehinaan, kejalangan, perih hati, dan luka mendalam menjadi tidak sebajingan kenyataannya. Lebih ramah untuk dirasa.

 Telah sampai aku pada puncak kehilangan, perih yang teramat dalam, semenjana sengsara meraja. Puncak! Dari semua puncak itu; dimana tubuh bergetar menahan dina, dimana sakit bukan lagi melukai, tapi membunuh. Aku sudah disana. 

Pada ringkih penuh nanah, dengan tulus ikhlas, aku yang manis, melepas. Berdiri dengan nama Tuhan bersama sisa kebenaran di genggaman.  “Apa yang terjadi, terjadilah.” Aku berjalan, layaknya tidak pernah terjadi apa-apa. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

22 Mar 2025

Sastra adalah jalan menuju kedalaman pikir yang sangat humanis. Sastra adalah jalan menuju imaji yang berkelana, menyusuri ruang-ruang pikir yang liar, mengikis ceruk-ceruk kepala yang keras akan ego dan pikiran yang tertinggal. Sastra adalah rupa kehidupan yang tidak terbayang di sebegaian benak, membuka mata dan hati untuk maklum dan empati. Jika ada pihak yang membenci karya tulis terlepas yang ada didalamnya, maka sisi humanitasnya dipertanyakan. Siapa yang takut pada buku yang tidak bernyawa? Mengapa? Karena sejatinya sebuah karya dibuat oleh hati yang terbuka dan kepala yang berpikir. Maka bukan ia takut pada buku, melainkan takut pada buah pikir. Buah pikir yang mampu melahirkan kesadaran, kecerdasan, pemahaman, kebijaksanaan. Buah pikir yang mampu melahirkan perlawanan terhadap angkara murka yang sengaja memelihara kebodohan dan IMPUNITAS . Pahitnya, borok-borok itu justru terdapat pada pemimpin negara republik yang dibangun oleh keringat, darah, dan air mata---bahkan nyawa. Di...
Bap, I lost again. Aku tidak bisa menemukan yang seperti kamu di dunia yang berhampar-hampar ini. Yang ada mereka lebih dari kamu, Bap— dan aku tidak bisa. Aku tidak bisa menyamakan pucuk pada pohon yang kami tanam. Aku takut, jika terus saja begini, rantingnya akan patah dan aku jatuh, lagi dan lagi. Ahh Bap… how’s heaven? Boleh aku ikut saja kesana di pangkuan Bap? Kami tidak membawa bunga Bap kemarin, kami membawa hati yang penuh seperti yang sudah-sudah. Aku merasa Bap sudah menunggu ya dari sana? Selamanya Bap akan hidup dalam hati kami, dalam do’a kami, dalam tulisan ini.  Salam cinta untuk Bap, we miss you a lotšŸ¤