Langsung ke konten utama

Catatan 36 Cerita Belantara

 Aku, debu yang goyah oleh dunia. Malam ini aku pergi ke dasar hati, menyelami apa yang membuatnya tidak bisa bekerja sama dengan pikiran di kepala. Mata terus terbuka, larut di keheningan malam. Tentang ilmu dan adab. Sungguh membuat kepala bercabang-cabang. Mari bicarakan rahasia ini. Biar saja, semoga mata mereka melebar, semoga telinga mereka memanjang. Namun pahala tetaplah bersama orang yang diberkahi.

 Pada suatu masa, hiduplah seorang perintih, peminta, dan tukang mengeluh ditengah indahnya dunia. Memikul  beban di pundak, hampir patah. Datang pada suatu tempat yang diberkahi sampai ia menjadi bagian dari tempat itu. Walaupun tidak memiliki harta, dia adalah pujangga. Walaupun tidak ada apa-apa bersamanya, sesungguhnya bekal di kepala dan hatinya cukup untuk membesarkan lapang dan merendah di hadapan Yang Maha Memberi. Sampai pada suatu hari dia menyadari bahwa dia hidup di antara kuda liar, ular berbisa, dan tanaman berduri. Bila ia mengambil gerakan yang salah, walau sedikit akan membahayakan keselamatannya. Bayangkan.

 Di suatu sudut, ada seorang yang belaga dia adalah singa yang menguasai seluruh wilayah belantara. Congkak, jika bicara seperti dia sudah memakan pahitnya seisi alam dunia, menyakitkan! Hai singa, sesungguhnya engkau bukan singa, sungguh tanggung jawab itu adalah memberatkan namun tidak membuat singa menjadi pemantik api. Sungguh kau bukan pemimpin. Pada hari itu sangat membekas di ingatan, dengan muka masam, dia mengambil kertas dari tanganku, dengan tangan kirinya. Tanpa aba-aba, tanpa berlemah lembut, tanpa ucapan "terima kasih". Aku ini tukang mengeluh, aku paham apa yang kau jaga, aku paham apa yang ingin kau pertahankan. Namun ini bukan sekedar tanggung jawab. Ini adab! Sungguh memilukan.

 Pada sudut lain yang tidak kalah muram, ada kupu-kupu bersayap hitam. Dia terbang kesana kemari, mencari apa yang bisa disalahkan. Dia mencari kesalahan sebagai makanan. Hatinya pilu, sehingga mulutnyapun kelu. Kelu saat mengucapkan kata-kata baik, kata-kata manis, kata-kata yang ramah didengar. Kulihat bahwa dia sangat tunduk pada Sang Pemberi Berkah. Aku si perintih, aku bergumam, apakah Tuhan mengijinkan dia mengecap rasa manis madu sedangkan yang ia bagi hanyalah kepahitan. Aku memohon ampun atas nama orang-orang yang mengutuk. Sungguh dia bukan kupu-kupu yang terbang dengan damai. Ini tentang adab!

  Ingin kuceritakan cerita ular dan kuda? atau duri yang menusuk? bukan menghias mawar, bukan melindungi tangkai, hanya membusuk dalam kepura-puraan. Sungguh aku tidak tega menceritakannya. Kau pernah lihat semut yang tunduk pada ratumya? atau bebek yang mengikuti induknya? seperti itulah para pemohon yang sesungguhnya membelakangi mereka namun dipaksa keadaan untuk menghadapi mereka. Menghadapi kepahitan yang mereka tebarkan setiap hari. Aku takut perlahan-lahan diri ini gelap karena amarah, sakit hati, dan memendam. Pernah ada dalam suatu masa, aku benar-benar seperti keledai bodoh yang harus menerima cercaan tuannya. Bila kusebutkan bahwa semua tokoh dalam cerita ini adalah orang berilmu, apa itu mengecewakan? Sesungguhnya hatiku lebiih dulu kecewa oleh mulut-mulut mereka. 

 Ilmu dan adab adalah sinergi. Kebenaran adalah gradasi. Terlepas apa yang menjadi hakikat ilmu dan adab, siapa saja yang menjunjung tinggi salah satunya, pun harus menjunjung yang lainnya. Aku adalah bodoh yang merintih-rintih untuk sesuap nasi, sesungguhnya aku tidak memahami hakikat itu. Sungguh aku menceritakan ironi yang ada di kepalaku. Sungguh aku tidak memahami arti tanggung jawab sehingga aku begitu keras mendirikan kebenaran. Sungguh aku tidak memahami penghargaan, sampai aku tidak bisa berlemah lembut pada hati yang lain. Entah kepahitan apa yang menyelimuti, sampai-sampai harus kubagikan pahit ini pada setiap orsng yang bicara denganku. Bagaimana suatu pekerjaan bisa mematikan hati, sungguh aku tidak mengerti. Sungguh, sarkasme ini bisakah kau pahami?

  Pada suatu sujud aku sampaikan pada Dzat Penguasa Seluruh Alam, jangan sedikitpun percikan hitamnya sampai pada hatiku. Aku memohon perlindungan dan naungan. Semoga Allah karuniakan cahaya kebaikan dalam hatinya, lapang pada dadanya. Aku ingin cerita ini bercerita tentang manusia seutuhnya. Aku tidak ingin dipanggil sang penulis jahat karena kutulis semua kenyataan pahit tentang belantara. Semoga Allah mengampuni segala dosaku, merahmati aku dengan hidayah dan taufiq-Nya.

 Cerita ini sampai pada bagian dimana kau harus berpura-pura bahwa kau tidak membaca apa-apa. Semoga Allah menuntun kita pada tempat yang penuh berkah, mempertemukan kita dengan teman dan saudara yang berseri senyumnya, tulus hatinya, menggandeng tangan untuk saling berlomba dalam kebaikan. Lapangkan dadamu, saat kau selesai membacanya. Sambil menunggu lelap, apakah ilmu dan adab sudah menghantui pikiranmu?

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

22 Mar 2025

Sastra adalah jalan menuju kedalaman pikir yang sangat humanis. Sastra adalah jalan menuju imaji yang berkelana, menyusuri ruang-ruang pikir yang liar, mengikis ceruk-ceruk kepala yang keras akan ego dan pikiran yang tertinggal. Sastra adalah rupa kehidupan yang tidak terbayang di sebegaian benak, membuka mata dan hati untuk maklum dan empati. Jika ada pihak yang membenci karya tulis terlepas yang ada didalamnya, maka sisi humanitasnya dipertanyakan. Siapa yang takut pada buku yang tidak bernyawa? Mengapa? Karena sejatinya sebuah karya dibuat oleh hati yang terbuka dan kepala yang berpikir. Maka bukan ia takut pada buku, melainkan takut pada buah pikir. Buah pikir yang mampu melahirkan kesadaran, kecerdasan, pemahaman, kebijaksanaan. Buah pikir yang mampu melahirkan perlawanan terhadap angkara murka yang sengaja memelihara kebodohan dan IMPUNITAS . Pahitnya, borok-borok itu justru terdapat pada pemimpin negara republik yang dibangun oleh keringat, darah, dan air mata---bahkan nyawa. Di...
Bap, I lost again. Aku tidak bisa menemukan yang seperti kamu di dunia yang berhampar-hampar ini. Yang ada mereka lebih dari kamu, Bap— dan aku tidak bisa. Aku tidak bisa menyamakan pucuk pada pohon yang kami tanam. Aku takut, jika terus saja begini, rantingnya akan patah dan aku jatuh, lagi dan lagi. Ahh Bap… how’s heaven? Boleh aku ikut saja kesana di pangkuan Bap? Kami tidak membawa bunga Bap kemarin, kami membawa hati yang penuh seperti yang sudah-sudah. Aku merasa Bap sudah menunggu ya dari sana? Selamanya Bap akan hidup dalam hati kami, dalam do’a kami, dalam tulisan ini.  Salam cinta untuk Bap, we miss you a lot🤍