Langsung ke konten utama

Catatan 44

Yang terhormat, luka. 

Wahai kau yang bersemayam di saku celana, aku atas nama pribadi mengucapkan terima kasih setulus yang pernah ada. Terima kasih telah menamparku tepat didalam hatiku, sehingga aku bertekad menjadi taat, kembali. Sekarang aku sudah lebih waras. Aku sudah bukan jalang dengan pedang menusuk ubun-ubun, aku wanita dengan diam sebagai perlindungan. Terima kasih hai kau yang menganga, aku tutup kau dengan tangan berdarah-darah, sudah.. sudah..

Aku terlalu berharga untuk kehadiranmu, silakan pergi atau tetap bersemayam. Namun hatiku bukan persemayaman, hatiku hidup justru untuk hal-hal menakjubkan yang kau bawa. Tidakkah itu membingungkan? Aku mengambil bunga yang indah dari peliknya penderitaan. Itulah, mengapa aku sangat menawan. Aku bukan bangkai yang menyisakan bau busuk, aku tidak berkarat. 

Kepada engkau, wahai luka melarat, aku sudah tidak terjerat, hanya do’a dan harap yang membumbung terpanjat. Semoga kau lekas tamat, tepat, sesaat setelah kau buat aku sekarat.

Salam 

Perempuan yang memeluk pedang.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

22 Mar 2025

Sastra adalah jalan menuju kedalaman pikir yang sangat humanis. Sastra adalah jalan menuju imaji yang berkelana, menyusuri ruang-ruang pikir yang liar, mengikis ceruk-ceruk kepala yang keras akan ego dan pikiran yang tertinggal. Sastra adalah rupa kehidupan yang tidak terbayang di sebegaian benak, membuka mata dan hati untuk maklum dan empati. Jika ada pihak yang membenci karya tulis terlepas yang ada didalamnya, maka sisi humanitasnya dipertanyakan. Siapa yang takut pada buku yang tidak bernyawa? Mengapa? Karena sejatinya sebuah karya dibuat oleh hati yang terbuka dan kepala yang berpikir. Maka bukan ia takut pada buku, melainkan takut pada buah pikir. Buah pikir yang mampu melahirkan kesadaran, kecerdasan, pemahaman, kebijaksanaan. Buah pikir yang mampu melahirkan perlawanan terhadap angkara murka yang sengaja memelihara kebodohan dan IMPUNITAS . Pahitnya, borok-borok itu justru terdapat pada pemimpin negara republik yang dibangun oleh keringat, darah, dan air mata---bahkan nyawa. Di...
Bap, I lost again. Aku tidak bisa menemukan yang seperti kamu di dunia yang berhampar-hampar ini. Yang ada mereka lebih dari kamu, Bap— dan aku tidak bisa. Aku tidak bisa menyamakan pucuk pada pohon yang kami tanam. Aku takut, jika terus saja begini, rantingnya akan patah dan aku jatuh, lagi dan lagi. Ahh Bap… how’s heaven? Boleh aku ikut saja kesana di pangkuan Bap? Kami tidak membawa bunga Bap kemarin, kami membawa hati yang penuh seperti yang sudah-sudah. Aku merasa Bap sudah menunggu ya dari sana? Selamanya Bap akan hidup dalam hati kami, dalam do’a kami, dalam tulisan ini.  Salam cinta untuk Bap, we miss you a lot🤍