Langsung ke konten utama

Catatan 56 Ingin Rasanya

Ingin rasanya pulang menuju rumah impian, namun ratapan belum cukup untuk sebuah jamuan.

Ingin rasanya berlari dari seluruh bising, namun amal masih sangat rendah tertakar untuk menyingsing.

Ingin rasanya menyusur peluh, menggema menuju seantero pikiran; aku hebat.. aku tidak membual. Aku kuat.. aku tidak mendusta.

Hai kamu manusia tidak tahu diuntung, warasmu tidak lebih berharga dari apa yang mereka cari. Yang sementara, yang mudah lenyap.

Untuk apa berkeinginan dan berangan-angan? Ingin rasanya.. Ingin rasanya.. dan seterusnya. 

Kenyataan bahwa jiwamu dibunuh dengan begitu keji tidak mengurangi kedudukanmu di sisi Dzat Yang Maha Mulia jika memang kamu orang yang bertakwa.

Ingin rasanya semua ini berakhir, namun dunia adalah tempat dengan akhir yang paling membingungkan. Akhir namun awal. Awal namun akhir. 

Yang paling pasti adalah hari akhir itu akan tiba dan semua akan selesai. Selesai.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

22 Mar 2025

Sastra adalah jalan menuju kedalaman pikir yang sangat humanis. Sastra adalah jalan menuju imaji yang berkelana, menyusuri ruang-ruang pikir yang liar, mengikis ceruk-ceruk kepala yang keras akan ego dan pikiran yang tertinggal. Sastra adalah rupa kehidupan yang tidak terbayang di sebegaian benak, membuka mata dan hati untuk maklum dan empati. Jika ada pihak yang membenci karya tulis terlepas yang ada didalamnya, maka sisi humanitasnya dipertanyakan. Siapa yang takut pada buku yang tidak bernyawa? Mengapa? Karena sejatinya sebuah karya dibuat oleh hati yang terbuka dan kepala yang berpikir. Maka bukan ia takut pada buku, melainkan takut pada buah pikir. Buah pikir yang mampu melahirkan kesadaran, kecerdasan, pemahaman, kebijaksanaan. Buah pikir yang mampu melahirkan perlawanan terhadap angkara murka yang sengaja memelihara kebodohan dan IMPUNITAS . Pahitnya, borok-borok itu justru terdapat pada pemimpin negara republik yang dibangun oleh keringat, darah, dan air mata---bahkan nyawa. Di...
Bap, I lost again. Aku tidak bisa menemukan yang seperti kamu di dunia yang berhampar-hampar ini. Yang ada mereka lebih dari kamu, Bap— dan aku tidak bisa. Aku tidak bisa menyamakan pucuk pada pohon yang kami tanam. Aku takut, jika terus saja begini, rantingnya akan patah dan aku jatuh, lagi dan lagi. Ahh Bap… how’s heaven? Boleh aku ikut saja kesana di pangkuan Bap? Kami tidak membawa bunga Bap kemarin, kami membawa hati yang penuh seperti yang sudah-sudah. Aku merasa Bap sudah menunggu ya dari sana? Selamanya Bap akan hidup dalam hati kami, dalam do’a kami, dalam tulisan ini.  Salam cinta untuk Bap, we miss you a lotšŸ¤