Selamat malam, selamat bersembunyi.
Sudah sampai mana dirimu? Bertemukah dengan muara kedamaian, meregup segala wujud harap? Atau mengulur waktu untuk bertemu kesempatan lain yang kau percaya itu adalah peruntungan. Dalam takdir, kelelahan sungguh sebuah hakikat, maka janganlah kau ragu pada hasilnya. Lama sekali tak mendengar puisimu, masihkah hidup sungai yang mengalir? Kemana dirimu mengalir? Bukan apa, aku tak sudi mendengar kabarmu meluap atau kabarmu bertemu muara, karena yang terjadi sebelumnya semua orang takut padaku, atau pada kita?
Siapa yang lebih mengesankan? Dibunuhlah segala kasih dan ditinggalkannya segala kisah tepat diatas mejamu. Bukan untuk tertawaan atau sebuah decak kagum, kau memahami apa yang aku perjuangkan. Kau dengan segala yang kau jaga, berteman peluh dan sakit, menerjang fana dalam keyakinan yang mulia. Mana yang lebih berkorban? Sungguh kita bertumbuh tangguh, betapa tidak mudah menjalin kisah yang syarat akan makna. Sepertinya aku belajar dari petapa, atau aku hanyalah perempuan dusta.
Dalam bentuk apapun, semoga indah lukisan hikmah menaungimu dalam tenang maupun gelisah. Sedang aku tetap harus meregup kesadaran. Kepalaku seringkali bepergian pada lembar yang sebenarnya sudah ditutup, aku tiup pada ujung telunjukku. Apakah tega diri mengenang dirimu? Percayalah dalam jiwanya, diam-diam ia penuh rela. Demi Tuhan ia mengenang sukarela!
Aku tetap pada rayu dan malu walau tertutup raut wajahku, apa yang bisa terjadi ketika kau bahkan dengan mudahnya mengenali. Harus darimana aku memulai kembali? Reruntuhannya saja tidak terlihat, padahal aku menerbangkan asa bersama panasnya suasana saat itu. Aku menempatkan diri pada titik nol kesadaran dan kembali bertanya, akankah kau melintas pada lautan yang penuh gemuruh? Semoga kau mengingat dan memilih. Semoga bertemu. Semoga bertemu.
Bahkan aku masih saja menyimpanmu dalam bejana harap. Sudah sampai mana dirimu? Karena aku masih disana, di samping tangga tempatmu menuju. Aku tertawa geli melihat diri yang kelu dan tak tahu malu. Yang paling kuingat, pengabdianmu terhadap belahan jiwa yang begitu kau muliakan sangatlah patut dirayakan. Menyenangkan memiliki jiwa seperti yang ada padamu. Lagi-lagi, aku harus belajar dari petapa, atau aku memang tetap sebagai perempuan gila.
Komentar