Langsung ke konten utama

Catatan 63 MERAJUT PERADABAN

     Menarik ulang masa 10 tahun yang lalu, kembali membawa tanya kehidupan dan rumitnya rubrik kenyataan yang dibangun pada saat itu.
      Diluar seluruh kecamuk yang mengaburkan kedamaian yang seharusnya di pelupuk mata, pada saat itu yang terlanjur dirajut oleh pikiran adalah benang-benang kekusutan mengenai sandaran yang seharusnya sedia pada diri. Sebagai seorang mahluk yang sedang sakit hatinya, tak ada habisnya, tak ada hentinya diri menyalahkan keadaan dan menginginkan sebuah sandaran. Kesalahan terbesar adalah, tidak adanya sosok panutan yang dapat menjadi penuntun, entah tidak menyadari, bodoh, atau terbelakang, menjadikan rasa sakit sebagai fokus terbesar sehingga lupa akan hakikat. Menjadikan luka sebagai pembenaran untuk melakukan ini dan itu, berdasarkan aturan baru yang dibuat dalam rubrik yang tidak relevan dengan aturan-aturan Tuhan. 
     Ini pula yang menjadi kekhawatiranku sebagai seorang perempuan. Komunikasi yang tidak maksimal menjadikan ilmu tidak dapat tersampaikan secara penuh dari hati ke hati. Aku, sebagai seorang awam dipaksa masuk ke dunia rumit milik para orang tua yang tanpa tega melibatkan malaikat-malaikat kecilnya dalam badai jiwanya. Akumulasi dari luka dan ketidakmampuan diri mengurai benang-benang kusut yang sudah menutupi kepala melahirkan berbagai perspektif baru, karakter baru, dan sikap-sikap yang aneh dan sulit dimengerti. Prasangka, makanan sehari-hari yang butuh keberanian tingkat tinggi untuk dikalahkan. Apalah jadinya diri ini? Tersisa apa diri ini selain jiwa yang penat, hati yang menyimpan amarah, mata yang penuh kabut, pikiran yang melayang-layang dalam kekeliruan. Sungguh, bagaimana aku bisa dibenarkan?
    Menyadari hal ini mungkin terjadi pada satu peradaban yang dihuni jutaan jiwa-jiwa yang menangis, akan seperti apa efeknya? Beruntungnya diri ini dituntun menuju cahaya dan menemukan kembali apa yang telah hilang, namun mereka? Siapa yang akan merajut mereka kembali pada sebuah hakikat, mengenai ketuhanan, kehidupan, dan kematian. Siapakah yang akan merajut kembali peradaban? Sungguh ini adalah tugas yang begitu berat. Begitulah akhirnya, pelan-pelan diri mengurai segala kusut pada benang pikiran, menyembuhkan diri, memaafkan segala hutang pengasuhan. Karena kita harus menuntaskan ini, sudah bukan saatnya kita mewariskan rasa sakit dan luka pada anak-anak yang bening matanya, suci hatinya, sungguh mereka adalah anugerah. 
     Jika yang mahahidup saja dengan lembutnya menggugah jiwa-jiwa yang sudah mati, maka kita yang digugah terlalu sombong jika tidak menyadari cinta-Nya. Menjahit peradaban berarti mengenalkan kembali, membangun kembali, menumbuhkan kesadaran pada mereka yang kehilangan. Ada 3 hal yang kusadari sebagai awal perjalanan panjang ini; mengenalkan kembali mengenai siapa Tuhannya, siapa Nabinya, bagaimana pedoman kehidupan mulai dari buaian sampai haribaan. Allah, Rasul, dan Al-Qur'an, sungguh daku berdo'a semoga setiap insan dapat dituntun untuk menyadari kembali ketiga hal tersebut sebagai modal kehidupan, sebagai bekal peradaban, semoga didekatkan, ditautkan, ayolah kita pasti bisa. 
   Bersandar kepada mahluk adalah awal kehancuran, aku mohon sadarlah, sungguh aku memohon, wahai jiwa-jiwa yang berlinang air mata. Maafkan segala kerendahan adabku yang dahulu buta dan tuli, namun percayalah aku menyesal dan itu tiada artinya. Ini tugas besar, ini benar-benar tidak bercanda, ini tugas kita untuk menghentikan segala kekeliruan yang ditimbulkan luka. YaAllah tolong mudahkan, mudahkan YaIllahi Rabbi... Terbayang kerusakan yang ditimbulkan dari gagalnya kontrol diri, subhanallah YaAllah selamatkan kami...
      Sekecil apapun peran, semoga kita senantiasa memiliki itikad untuk perubahan, semoga Allah curahkan rahmat, hidayah, dan taufiqNya, menuntun jalan menuju apa yang Ia ridho. Bangunlah para perempuan, sampai kapan kau tenggelam dalam buaian semu kekasih pujaan yang belum tentu kau hidup dengannya. Kedudukanmu, peranmu, sungguh sangat mulia, mengapa masih kau bersandar kepada sesuatu yang tak sedikitpun mempertahnkan kemuliaan itu. Jangankan untuk itu, apakah tidak terpikirkan bahkan mereka tidak menyadari sedikitpun kemuliaanmu, bagaimana bisa menghargaimu? Yang selama ini dilakukan hanyalah tipu daya, bangunlah sayangku, jangan terbuai lagi, aku mohon bukalah mata dan hatimu, aku mohon selamatkan dirimu. Mari sama-sama bangkit, tidak ada kata terlambat selama nafas masih berhembus. Kasih dan cinta Allah melebihi apapun di muka bumi ini, peluklah dirimu sebentar saja dan sadari kebenarannya. Tidak perlu malu, tidak, sungguh tidak! Mari kita berhenti membodohi diri sendiri, ayo bangun, kita berusaha! 
لا حولا ولا قوات إلا بالله
لا حولا ولا قوات إلا بالله
لا حولا ولا قوات إلا بالله
     

Komentar

Postingan populer dari blog ini

22 Mar 2025

Sastra adalah jalan menuju kedalaman pikir yang sangat humanis. Sastra adalah jalan menuju imaji yang berkelana, menyusuri ruang-ruang pikir yang liar, mengikis ceruk-ceruk kepala yang keras akan ego dan pikiran yang tertinggal. Sastra adalah rupa kehidupan yang tidak terbayang di sebegaian benak, membuka mata dan hati untuk maklum dan empati. Jika ada pihak yang membenci karya tulis terlepas yang ada didalamnya, maka sisi humanitasnya dipertanyakan. Siapa yang takut pada buku yang tidak bernyawa? Mengapa? Karena sejatinya sebuah karya dibuat oleh hati yang terbuka dan kepala yang berpikir. Maka bukan ia takut pada buku, melainkan takut pada buah pikir. Buah pikir yang mampu melahirkan kesadaran, kecerdasan, pemahaman, kebijaksanaan. Buah pikir yang mampu melahirkan perlawanan terhadap angkara murka yang sengaja memelihara kebodohan dan IMPUNITAS . Pahitnya, borok-borok itu justru terdapat pada pemimpin negara republik yang dibangun oleh keringat, darah, dan air mata---bahkan nyawa. Di...
Bap, I lost again. Aku tidak bisa menemukan yang seperti kamu di dunia yang berhampar-hampar ini. Yang ada mereka lebih dari kamu, Bap— dan aku tidak bisa. Aku tidak bisa menyamakan pucuk pada pohon yang kami tanam. Aku takut, jika terus saja begini, rantingnya akan patah dan aku jatuh, lagi dan lagi. Ahh Bap… how’s heaven? Boleh aku ikut saja kesana di pangkuan Bap? Kami tidak membawa bunga Bap kemarin, kami membawa hati yang penuh seperti yang sudah-sudah. Aku merasa Bap sudah menunggu ya dari sana? Selamanya Bap akan hidup dalam hati kami, dalam do’a kami, dalam tulisan ini.  Salam cinta untuk Bap, we miss you a lot🤍