***
Diceritakan suatu ketika ada lelaki dengan perawakan kecil yang lemah dan hina bagaikan burung kecil yang terkutuk. Bahkan, setiap pandangan buruk yang melihatnya selalu diiringi dengan rasa jijik dan disertai rasa syukur kepada Tuhan karena mereka tidak seburuk dia, meskipun sebelum melihat dia, mereka pernah mengeluhkan wajah mereka. Meski begitu, laki-laki itu selalu berbicara kasar dan seorang pembual besar. Dulu dia seorang anggota istana raja dan sikapnya menyakiti wazir kerajaan, namun sang wazir menelannya mentah-mentah. Hingga suatu hari sang wazir hilang kesabaran. Dia pun berteriak, “Hai, orang-orang istana! Aku memungut mahluk ini keluar dari selokan dan memberinya makan dengan memakan rotiku dan duduk di mejaku, serta menikmati kedermawanan dan kekayaanku, dan juga kekayaan leluhurku. Dengan begitu kini dia menjadi seseorang. Tapi, kini dia datang dan berbicara kepadaku dengan cara seperti ini!”
Laki-laki itu berteriak di hadapan sang wazir, “Wahai orang-orang istana, para bangsawan, dan tulang punggung negara! Apa yang dia katakan itu benar. Aku sudah dipelihara oleh kekayaan dan kemurahan hatinya dan kekayaan yang berasal dari leluhurnya hingga aku tumbuh dewasa, hina, dan kasar seperti yang kalian lihat. Jika aku dibesarkan oleh roti dan kekayaan orang lain, tentunya penampilan, tata krama, dan nilaiku akan lebih baik dari ini. Dia memang memungutku keluar dari selokan, namin justru karena itu yang bisa aku katakan hanyalah ‘Oh, aku berharap menjadi debu’ (QS. an-Naba: 40). Jika orang lain memungutku keluar dari selokan, aku tidak akan jadi bahan tertawaan seperti ini”.
Seorang murid yang diberi makan oleh kekasih Allah memiliki jiwa sejati yang bersih. Tetapi, mereka yang dipelihara oleh tangan penipu ulung dan pembual, belajar dari mereka, menjadi seperti guru mereka, hina dan lemah, tak berdaya serta tidak mampu mengambil keputusan tentang apapun. Sebab mereka yang tidak beriman, pendukungnya adalah thagut. Mereka akan membawanya dari cahaya ke dalam kegelapan (QS. al-Baqarah: 257)
Para nabi dan orang suci, dengan demikian, adalah “pengingat” atas keadaan masa lalu seseorang. Mereka tidak meletakkan sesuatu yang baru ke dalam hakikat seseorang. Sekarang, setiap air keruh yang mengenali air jernih itu akan berkata, “Aku berasal dari itu”, lalu bercampurlah dengannya. Tetapi, jika air keruh itu tidak mengenali air jernih yang mengingatkan asal mulanya dan berpikir berbeda debgan yang lain, dia akan menolak proses terjadinya kekeruhan, percampuran warna lain dalam dirinya, hingga dia tidak akan lagi bercampur debgan lautan yang mahaluas. Mereka bahkan menjadi lebih asing dari laut.
Note: From Fihi Ma Fihi karya Maulana Jalaludin Rumi BAB 8 Hal 56-59 Terbitan MUEEZA, 2020
Komentar