Langsung ke konten utama

Catatan 69 Ketika Dia Pamit

Sederhana sekali Barjah menyikapi pentas menyingkap hati, namun Neni begitu mendalam. Tak ada sesal diri mengenalnya yang pantas dituliskan dalam syair-syair megah. 


“Sebab tidak pernah aku jatuh cinta, melainkan hanya kebaikan yang aku dapat. Walaupun tidak memilikinya. Pula tidak pernah aku jatuh cinta, sedang hanya membuatku semakain sadar kemuliaan Allah yang Maha memiliki cinta, walau pada akhirnya hanya ikhlas yang menjadi kisah.” 


Begitulah ia sadur dari seseorang yang gamang akan perasaannya. Kejatuhannya kali ini adalah jatuh yang membawa diri semakin dekat dengan fitrah seorang hamba. 

“Dia masih berputar di halaman padahal sudah mengalir jauh, jika kubaca kembali catatan masa lalu yang aku sendiri menganga ketika membacanya, sungguh aku tak kan percaya bahwa kau kelak menjadi bagian paling elok namun menyayat.”


Andai bisa kau tulis juga di kertas kosong, dia itu tenang sungai dan sang perempuan adalah riaknya, beraninya ia pamit dengan tidak membiarkan kau  mengganggu. Terima kasih, kau sudah begitu tenang menghadapi kejamnya jembatan ini. Dunia ini jembatan, bukan? 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

22 Mar 2025

Sastra adalah jalan menuju kedalaman pikir yang sangat humanis. Sastra adalah jalan menuju imaji yang berkelana, menyusuri ruang-ruang pikir yang liar, mengikis ceruk-ceruk kepala yang keras akan ego dan pikiran yang tertinggal. Sastra adalah rupa kehidupan yang tidak terbayang di sebegaian benak, membuka mata dan hati untuk maklum dan empati. Jika ada pihak yang membenci karya tulis terlepas yang ada didalamnya, maka sisi humanitasnya dipertanyakan. Siapa yang takut pada buku yang tidak bernyawa? Mengapa? Karena sejatinya sebuah karya dibuat oleh hati yang terbuka dan kepala yang berpikir. Maka bukan ia takut pada buku, melainkan takut pada buah pikir. Buah pikir yang mampu melahirkan kesadaran, kecerdasan, pemahaman, kebijaksanaan. Buah pikir yang mampu melahirkan perlawanan terhadap angkara murka yang sengaja memelihara kebodohan dan IMPUNITAS . Pahitnya, borok-borok itu justru terdapat pada pemimpin negara republik yang dibangun oleh keringat, darah, dan air mata---bahkan nyawa. Di...
Bap, I lost again. Aku tidak bisa menemukan yang seperti kamu di dunia yang berhampar-hampar ini. Yang ada mereka lebih dari kamu, Bap— dan aku tidak bisa. Aku tidak bisa menyamakan pucuk pada pohon yang kami tanam. Aku takut, jika terus saja begini, rantingnya akan patah dan aku jatuh, lagi dan lagi. Ahh Bap… how’s heaven? Boleh aku ikut saja kesana di pangkuan Bap? Kami tidak membawa bunga Bap kemarin, kami membawa hati yang penuh seperti yang sudah-sudah. Aku merasa Bap sudah menunggu ya dari sana? Selamanya Bap akan hidup dalam hati kami, dalam do’a kami, dalam tulisan ini.  Salam cinta untuk Bap, we miss you a lotšŸ¤