Disclaimer:
Tulisan ini tidak dibuat untuk menyinggung pihak manapun. Ini adalah opini pribadi dan bentuk geram yang sudah ada pada puncak. Jika anda tersinggung, segeralah tampar diri anda, SADAR!!!!
Belum lama ini, bangsa merayakan pesta demokrasi 5 tahunan untuk memilih presiden, wakil presiden, dan anggota legislatif. Frasa "pesta demokrasi" yang dahulu saya anggap sebagai representasi perayaan sekarang berubah menjadi kata tanpa makna. Pemilu kali ini luar biasa sekali membuat saya lebih dewasa dalam menentukan pilihan, melalui perjalanan yang saya lakukan dengan mencari track record, memahami visi misi, sampai memperhatikan bagaimana proses berjalannya masa kampanye membantu saya membangun kembali critical thinking yang sudah lama tertidur dalam ke-apatisan terhadap politik dan segala macam urusan yang menyangkut pemerintahan. Padahal, betapa pentingnya memilih pemimpin dengan penuh pertimbangan, research serta KEJUJURAN karena sedikitnya orang-orang itulah yang menentukan berapa batas upah minimum yang akan kita terima ketika menjadi pekerja, bagaimana urusan kemasyarakatn diurus, dan sebagainya, dan sebagainya. Hal-hal kecil yang tidak disadari oleh kebanyakan orang yang sudah terlanjur hilang rasa percayanya pada pemerintah. Demokrasi dewasa ini hanya melahirkan sikap pragmatis ditengah masyarakat yang sebenarnya sangat sangat perlu pembelaan. Saya sampai tidak tahu bagaiamana merangkai perasaan melalui kata-kata untuk menggambarkan betapa rumitnya sistem demokrasi di Indonesia ini.
Yang saya tonton dan paling saya sadari dalam masifnya masa-masa kampanye kemarin adalah kualitas sumber daya manusia yang masih minim. Jika ingin mengacu pada perkembangan teknologi, sebenarnya hal ini sudah bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin, namun saya melihat fenomena bahwa banyak orang tidak memiliki mental untuk memaksimalkan apa yang sudah tersedia. Banyak yang belum siap. Jauh-jauh melek literasi, ada yang membaca caption foto atau video dengan teliti pun sulit. Bagaimana mencerna informasi dengan bijaksana jika tidak mengetahui apa itu term-term informasi dan bijaksana. Saya sampai menganga melihat komentar-komentar di sosial media yang hanya mempertontonkan minimnya edukasi dan empati, minimnya norma dan budaya. Bukankah Indonesia kaya akan budaya? Ironis sekali. Miris sekali. Saya khawatir dengan keberlangsungan pengajaran etika yang seperti tidak meninggalkan bekas apapun.
Yang saya benci dari demokrasi ini selain sekularisme (tentunya) adalah suara saya yang disamakan dengan suara orang gila! Orang gila yang saya maksud adalah mereka yang terang-terangan menerima bayaran untuk menggunakan hak suara sesuai pesanan si pembayar. Seperti anomali, pengemis membayar pengemis. Ini terjadi didepan mata kepala saya. Saat saya bertanya mengapa seseorang melakukan itu, jawabannya benar-benar membuat hati saya meringis. "Ini sudah biasa, siapapun presidennya yang kita cari tetaplah uang, yang penting uang". Padahal uangnya pun tidak seberapa. Jawaban yang menunjukan ketergantungan rakyat pada sistem yang rusak, sikap pragmatis yang berkolaborasi dengan penghalalan segala cara. Jika dibandingkan dengan memiliki pemahaman dan edukasi mengenai kemandirian untuk berdikari, menerima kaos dan bansos lebih mereka sukai. Selamanya mereka dibuat ketergantungan kepada pemerintah yang mana saya melihatnya rakyat itu bukan dibela, itu bukan sebuah bentuk kasih sayang pemerintah kepada rakyat, namun lebih menganggap sistem dan jajaran tokohnya adalah produk yang sedang melakukan promosi untuk memenangkan urursan-urusan oligarki. Rakyat hanyalah alat, rakyat hanyalah sasaran promosi yang ketika sudah selesai maka hanyalah berakhir seperti sampah. Orang-orang gila ini dibayar untuk membela orang yang membayar mereka tidak peduli bagaimana track recordnya; gelap, cacat, berdarah, semua tidak dipedulikan. YANG PALING PENTING HANYALAH SATU, DIBAYAR.
Sekarang saya mengerti mengapa sebagian orang memilih untuk tidak memilih. Sedikit-sedikit saya mulai mengerti mengapa mereka yang teguh dalam oposisi ada yang di cap ekstrimis atau malah ikut terjun bebas dalam pemerintahan. Saya hanya bisa berdo'a untuk keselamatan bangsa dan negara, melihat semua kobobrokan yang sudah sangat sistematis ini, saya hanya bisa berdoa. Melihat mental bangsa yang diacak-acak pula dengan sangat sistematis, kembali saya hanya bisa berdoa.
Ini saya belum membicarakan betapa masifnya dampak dari sekularisme terhadap cara berpikir masyarakat. Kerangka berpikir yang melahirkan sikap acuh, intoleran, dan lain-lain. Ini benar-benar seperti efek domino. Cobalah, sekali-kali pakai perangkat canggihnya untuk menggali informasi mengenai hal-hal sekitar, ini membantu loh untuk menghilangkan sikap antipati. Sungguh, kamu akan menganga. Ini tidak sederhana, kamu akan menganga.
Komentar