Langsung ke konten utama

Catatan 76 Mabuk Asmara

Mabuk asmara

Label konservatif di jaman ini melekat pada hal-hal yang memang hukum asalnya haram dalam syariat dan hal-hal yang sudah diuji kebenaran dan manfaatnya. Bagaimana bisa hal yang haram dan tegas dilarang dalam agama dilabeli sebagai sesuatu yang mengikat, menyiksa, dan menjauhkan kesenangan? Tidak lain karena hilangnya ilmu dan hilangnya keinginan terhadap Al-Qur’an. 


Di Indonesia sendiri, fenomena pacaran di kalangan muda seolah sudah lumrah, seolah sudah menjadi bagian baru dari budaya, padahal jika ditilik lagi hukum asalnya sudah sangat jelas. Ini sungguh kekeliruan yang nyata. Secara etimologi kata ‘pacaran’ berasal dari kata ‘pacar’ (daun pacar). Sedangkan, dalam bahasa Bugis, dikenal dengan istilah ‘pacci’. 


Mengapa bisa menjadi istilah untuk dua orang yang menjalin hubungan asmara? Berawal dari masyarakat Melayu yang selalu menggunakan pacar air (atau dikenal sebagai inai) pada dua orang muda-mudi yang saling tertarik dan diketahui oleh keluarganya. Hal ini ditandai dengan pihak pria yang mengirim utusan kepada keluarga perempuan untuk membaca pantun di depan halaman. Setelah itu, jika pihak perempuan menyambut pantun tersebut dan ingin meneruskan hubungan, maka orang tua keduanya akan memberikan pacar air (inai) di tangan keduanya. Akhirnya, terpakailah istilah ‘pacaran’ untuk perempuan dengan inai sebagai tanda bahwa ia merupakan calon pengantin dan akan melangsungkan pernikahan.


Bandingkan esensi yang sudah berubah pada masa ini. Ironis! Sebuah kearifan budaya yang disalah pahami. Diluar konteks agama, perilaku yang di klaim adalah representasi istilah tersebut nyatanya asing dalam akar budaya (seandainya mereka mengerti budayanya). Ini bukanlah hal yang pantas dirujuk dalam kedua konteks tersebut; agama dan budaya. Lalu kemana mereka yang tersesat ini merujuk perilakunya? Tidak lain kepada hawa nafsu dan cinta serampangan yang tidak dimengerti sebab akibatnya. 


Ibnu Qayyim mengatakan dalam kitab Ad daa’ Wad Dawaa, mabuk asmara adalah lebih tinggi tingkatannya dari zina. Kegilaan, mudharat, kehinaannya lebih besar dari perilaku zina. Ini disebabkan karena asmara dapat memicu perbuatan syirik yang mana tiada ampunan baginya. Yang mencinta akan mencurahkan segenap hati bagi yang dicinta, menyebabkan kelalaian pada yang hakikatnya memiliki cinta untuk berdzikir (mengingat Allah). Bahkan pada tingkat yang lebih parah, yang mencinta lebih mementingkan ridho yang dicinta (makhluk)  daripada ridha Allah ﷻ .


Kegilaan yang menjangkit orang-orang yang mabuk asmara lebih parah dari orang sakit jiwa. Penggiringan akal, hati, dan jiwa pada kebodohan dan keterbelakangan adab disebabkan asmara pada makhluk yang dicinta menyebabkan kemuliaan yang terdapat pada hal-hal yang sudah disebutkan seolah sirna. Ini adalah siksa yang sungguh pedih sementara pelakunya masih terus menerus tenggelam dalam lautan kenikmatan semu sampai akhir hidupnya. 


Perilaku pacaran adalah membenarkan yang salah dan menghalalkan yang haram; bersikap buru-buru, bodoh, ceroboh, dan hina; menjauhkan pelakunya dari kemaslahatan agama, yang mana jika kemaslahatan agama sudah diregup maka sudah pasti kemaslahatan dunia juga menyertai. 


Jangan sampai keliru melabeli sesuatu. Latar belakang dan elaborasinya harus berdasar. Jangan serampangan dalam hal apapun, jika tidak ingin jatuh ke jurang kehinaan yang menghilangkan seluruh daya dan harga diri. Tidakkah cukup puan menjadi cermin? Semoga Allah  mengampuni wanita ini dan kamu sekalian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

22 Mar 2025

Sastra adalah jalan menuju kedalaman pikir yang sangat humanis. Sastra adalah jalan menuju imaji yang berkelana, menyusuri ruang-ruang pikir yang liar, mengikis ceruk-ceruk kepala yang keras akan ego dan pikiran yang tertinggal. Sastra adalah rupa kehidupan yang tidak terbayang di sebegaian benak, membuka mata dan hati untuk maklum dan empati. Jika ada pihak yang membenci karya tulis terlepas yang ada didalamnya, maka sisi humanitasnya dipertanyakan. Siapa yang takut pada buku yang tidak bernyawa? Mengapa? Karena sejatinya sebuah karya dibuat oleh hati yang terbuka dan kepala yang berpikir. Maka bukan ia takut pada buku, melainkan takut pada buah pikir. Buah pikir yang mampu melahirkan kesadaran, kecerdasan, pemahaman, kebijaksanaan. Buah pikir yang mampu melahirkan perlawanan terhadap angkara murka yang sengaja memelihara kebodohan dan IMPUNITAS . Pahitnya, borok-borok itu justru terdapat pada pemimpin negara republik yang dibangun oleh keringat, darah, dan air mata---bahkan nyawa. Di...
Bap, I lost again. Aku tidak bisa menemukan yang seperti kamu di dunia yang berhampar-hampar ini. Yang ada mereka lebih dari kamu, Bap— dan aku tidak bisa. Aku tidak bisa menyamakan pucuk pada pohon yang kami tanam. Aku takut, jika terus saja begini, rantingnya akan patah dan aku jatuh, lagi dan lagi. Ahh Bap… how’s heaven? Boleh aku ikut saja kesana di pangkuan Bap? Kami tidak membawa bunga Bap kemarin, kami membawa hati yang penuh seperti yang sudah-sudah. Aku merasa Bap sudah menunggu ya dari sana? Selamanya Bap akan hidup dalam hati kami, dalam do’a kami, dalam tulisan ini.  Salam cinta untuk Bap, we miss you a lot🤍