Langsung ke konten utama

Buta Warna

Kali ini nona persembahkan sebuah pentas mengusung pengungkapan rasa rindu yang tidak pernah ada sebelumnya, untuk Bap diatas sana... atau dimanakah dirimu saat ini? Hey cintaku, tanggal ini adalah tanggalmu lahir sebagai bagian dari fana semesta. Walaupun nona mengetahui kau sendiri belum tentu ingat kapan tepatnya, tapi setidaknya itulah yang Bap karang. 

Bap, setiap hari ini, nona mengingat segala suka dan sedih bersama Bap dalam kehidupan yang amat singkat. Bap, nona katakan ia sudah mencintaimu lagi, namun kali ini kadarnya lebih mulia karena dia sudah belajar ketentuan, dia sedang tertatih untuk berubah, katanya tidak ingin sepertimu.

Padahal jika ditilik kembali, sungguhlah sengsara dan nestapa telah selesai menjadi makanan sehari-hari. Kau tegak berdiri disana bersama nafas beratmu, menghela sangat panjang sambil kau menahan sakit badan pun jiwa dan hatimu.

Segala perasaan yang dibawa oleh ingatan masa lalu sudah tidak akan membuat nona  membangun benteng penyesalan. Biarlah Bap, itu sudah menjadi ketentuan Allah. Lagipula kita sama, kita hanya hidup di dunia ini sekali dan ini adalah pertama kalinya kita hidup. Tidak ada yang sempurna selain Dzat Yang Maha Sempurna.

Bap, setiap nona melihat keindahan, ia membayangkan bagaimana dirimu melihat semua keindahan itu. Bap selalu menyebut setiap warna dengan hitam dan merah, karena itulah Bap terjebak dalam pekat? Bolehkah aku pinjamkan kedua bola mataku agar kau dapat melihat kebun teh dekat rumah kita, itu sangat hijau, menyegarkan. Bap, nona sangat bersedih karena Bap tidak bisa melihat kuningnya bunga matahari dan anggur yang ungu. 

Bap, nona turut berduka ketika Bap tidak mampu membedakan gelap terang karena yang Bap lihat hanya muram. 

Walaupun begitu, Bap sangat rendah hati dan  berdamai. Bap, nona mendengar cerita bahwa Bap pernah dimarahi akibat tidak mengetahui rupa warna jingga. Bap, mengenai langit sore dan pagi yang selalu kita lihat di balik pegunungan dekat runah kita, sebetulnya apa yang Bap lihat? Bap katakan indah, itu hanya hiburan untuk nona? Padahal sesungguhnya Bap hanya menerka-nerka. Sungguh baik hatimu.

Sampai saat terakhir, Bap masih senantiasa mengajak nona berhenti di pematang sawah, Bap meneguk air, terlihat baik-baik saja. Pada saat itu tidak apa Bap, jika seorang lelaki yang tengah menebus rasa bersalahnya mengeluhkan rasa sakit, tidak mengapa jika seorang manusia membagi rasa sakitnya. Pada saat itu nona terlihat seperti mayat hidup yang tidak berhati, hanya mengangguk padahal orang yang mencintainya tengah sekarat. Dapatkah dibayangkan seperti apa hancurnya nona pada saat itu? pada saat semuanya sudah tidak sempat. Sudah tidak sempat karena Bap telah pulang. 

Bap sekarang hidup dengan do'a, atau lebih pantasnya Bap senantiasa hidup dalam doa. Semoga Allah ridho bahkan pada setitik kecil iman dihatimu, kelak menjadi penerang dalam jalanmu Bap. 

1 Juli 2024, roses are faded but souls start to bloom, it's always have been and always will be. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

22 Mar 2025

Sastra adalah jalan menuju kedalaman pikir yang sangat humanis. Sastra adalah jalan menuju imaji yang berkelana, menyusuri ruang-ruang pikir yang liar, mengikis ceruk-ceruk kepala yang keras akan ego dan pikiran yang tertinggal. Sastra adalah rupa kehidupan yang tidak terbayang di sebegaian benak, membuka mata dan hati untuk maklum dan empati. Jika ada pihak yang membenci karya tulis terlepas yang ada didalamnya, maka sisi humanitasnya dipertanyakan. Siapa yang takut pada buku yang tidak bernyawa? Mengapa? Karena sejatinya sebuah karya dibuat oleh hati yang terbuka dan kepala yang berpikir. Maka bukan ia takut pada buku, melainkan takut pada buah pikir. Buah pikir yang mampu melahirkan kesadaran, kecerdasan, pemahaman, kebijaksanaan. Buah pikir yang mampu melahirkan perlawanan terhadap angkara murka yang sengaja memelihara kebodohan dan IMPUNITAS . Pahitnya, borok-borok itu justru terdapat pada pemimpin negara republik yang dibangun oleh keringat, darah, dan air mata---bahkan nyawa. Di...
Bap, I lost again. Aku tidak bisa menemukan yang seperti kamu di dunia yang berhampar-hampar ini. Yang ada mereka lebih dari kamu, Bap— dan aku tidak bisa. Aku tidak bisa menyamakan pucuk pada pohon yang kami tanam. Aku takut, jika terus saja begini, rantingnya akan patah dan aku jatuh, lagi dan lagi. Ahh Bap… how’s heaven? Boleh aku ikut saja kesana di pangkuan Bap? Kami tidak membawa bunga Bap kemarin, kami membawa hati yang penuh seperti yang sudah-sudah. Aku merasa Bap sudah menunggu ya dari sana? Selamanya Bap akan hidup dalam hati kami, dalam do’a kami, dalam tulisan ini.  Salam cinta untuk Bap, we miss you a lotšŸ¤