Berita yang mengundang atensi besar mengenai kekerasan rumah tangga yang dilakukan oleh seorang suami pada istri sekaligus ibu dari 3 anaknya adalah triger warning untuk para muda mudi bahkan seluruh kalangan bahwa menikah adalah bukan hal yang selalu indah. Marriage is scary bergema hampir di seluruh wadah media sosial. Hal-hal yang menyangkut pernikahan ditunjukan kepada publik termasuk sisi-sisi gelapnya. Back then to 2016-2017, teringat kala itu tren nikah muda juga menggema dengan masif di media sosial. Hal ini menjadi stimulan bagi para muda mudi untuk cepat menikah, cepat meniti kehidupan dalam bentuk ibadah terpanjang. Hal ini berpengaruh baik dari sisi syariat jika didasarkan pada perspektif bahwa itu adalah bentuk tegas diri untuk tidak tenggelam dalam pusara hal-hal yang haram, namun pada lain perspektif ini justru hanya solusi cepat dari penuntasan hawa nafsu. Penulis menilai bahwa pada sudut yang lain, seringkali orang lupa bahwa penuntasan akan suatu hal juga harus dibarengi dengan kebenaran-kebenaran yang menyertainya. Inilah yang penulis maksud dengan menyertakan ilmu. Ilmu seringkali tidak diikutsertakan dalam keputusan berumah tangga, hanya karena berdasar pada stimulan yang tengah menjadi tren, hanya karena berdasar pada pernyataan menghindari zina. Memang benar, benar sekali, pernikahan adalah suatu upaya penyelamatan diri, namun coba pikirkan kembali mengenai frasa "ibadah terpanjang", apakah sebuah ibadah tidak membutuhkan pemahaman mengenai term dan komitmen yang pasti dan matang?
Terutama bagi laki-laki yang adalah pemimpin-nya. Perlu diketahui bahwa pemahaman itu tidak dimulai ketika akad diucapkan, namun justru dari sebelum akad, saat Ia masih sendiri. Sudah sepantasnya sebagai seorang calon pemimpin, dia mempelajari term-term yang ada untuk membentuk sebuah komitmen dan prinsip yang akan dibawa dan dipakai untuk membangun bingkai rumah tangga. Di Islam sendiri sudah sangat jelas bahwa term-term yang ada pada syariat sudah sangat mewakili apa yang harus dipenuhi, dipelajari dan dijalankan dengan sepenuh hati.
Reminder untuk penulis sendiri bahwa pernikahan adalah suatu hal yang dibangun bersama dengan tujuan yang sama, dan disandarkan pada sandaran yang jelas yaitu Allah SWT. Perlu diingat bahwa cinta itu fluktuatif, bisa naik, bisa turun, bisa juga hilang, maka dalam mengarungi bahtera jika perahu disandarkan pada cinta, sudah rapuhlah ia terombang-ambing. Sandarkan pada tujuan yang sama yaitu Allah. Please correct me if I'm wrong cause obviously the writer itself has not married yet dear ladies and gentlemen... but let's learn this together.
Harap dan takut mungkin bisa menjadi pondasi dasar. Mari berada di tengah-tengah, tidak terlalu berharap kepada makhluk atau pada pernikahan itu sendiri dan hanya menggantungkan harap kepada Allah juga tidak perlu terlalu takut, karena sesungguhnya pernikahan adalah perintah dalam syariat. Selain perintah, kembali pada kata 'harap', sebagai seorang hamba, tidak seharusnya ketakutan mengalahkan harapan, karena Allah saja menyebut dirinya Dzat yang Maha pengabul do'a, maha pengasih, maha hidup, dan berdiri sendiri. There's no need to be frightened by the 'marriage is scray', there's always a scary thing also beautiful thing in the life of marriage, isn't it? Once again, cmiiw. Well everyone let's calm down and just be focus on our goals. Mari usahakan untuk tetap pelajari ilmunya dan sabar dalam menanti. Menanti siapa? of course the best one! 'cause there's always hope in every situation. In Allah we trust!
Disclaimer: Mohon pemakluman bahwa penulis sedang tidak ingin ber-rima, bersajak, dan semacamnya, penulis tengah keluar sejenak dari jendela prosa, sedikit kehilangan jati dirinya dan utamanya terlalu banyak makan makanan manis untuk menghilangkan ketegangan, semrawut, dan kusut pada pikirnya. Memang ada relasinya? ADA!!!!!!
Komentar