Ada yang menembus ruang dan waktu hanya untuk melihat bejana siapa yang paling ranum.
Di dalam perjalanan menuju hidup yang abadi, ada yang rela mengorbankan sekuntum bunga jiwanya demi taman bunga yang indah dan sedang mekar-mekarnya.
Sepertinya ia telah menyadari betapa jalangnya sang pembawa wadah kosong yang menawarkan seteguk air. Pernah kukatakan bahwa ucap seringan kapas, namun ini sangat berat dipikul andai kau mengetahui.
Tidak pernah sedikitpun tulisan-tulisan yang ada pada rumah ini ditujukan kepada sesiapa. Begitu juga yang sempat aku tengok kedatangannya di beranda rumah. Sepertinya sudah lenggang langkahnya menuju pelataran lain. Memang tidak ada pantas bagi diri untuk sekedar mengutarakan kisah.
Bila suatu saat ada ruang-ruang dalam kalimat yang dicipta yang menggetarkan hati, maka itu adalah anugrah dan bukan bikinan penulis.
Kemudian mengenai aku yang tidak tahu malu, aku tidak bisa menjelaskan bagaimana harus membuang semua itu. Maafkan semua kebodohan. Mohon maafkan segala kecerobohan.
Ah, sepertinya memang tidak akan sampai kau pada pelataran, padahal sudah aku singkirkan semua duri-durinya. Tak mengapa, seharusnya kau tak gelisah mengenai kedatangan karena sejak awal kau memang tidak berkenan.
Jika taman bunga itu diraih dengan mengorbankan bagian jiwa yang sedang ranum-ranumnya, maka sudah tak mengapa, biarlah, semua orang juga kehilangan.
Aku bukan bulan dikekang malam, bukan bukan. Aku tidak memeluk bayang-bayang.
Ah, sudah lah..
Komentar