Apa yang ada di pikiran saya setiap digelarnya kontestasi politik adalah rakyat masih sangat bodoh. Apabila saya terlalu keras dalam berbahasa jangan salah mengira bahwa pikiran dan hati rakyat lebih keras dari kebodohan yang saya ucap.
Rakyat disuguhkan dengan kenyataan bahwa rakyat adalah pemegang tertinggi kekuasaan, yang pada kenyataannya rakyat hanya diperalat, diiming-imingi, diperbudak, dibodoh-bodohi, oleh pejabat yang dipilihnya sendiri. Ini membuktikan bahwa rakyat Indonesia sangat tidak siap dengan demokrasi. Demokrasi ditangan rakyat yang masih mudah disetir, mudah dobodohi, mudah diprovokasi, hanya akan melahirkan pejabat pemerintah yang saya rasa tidak jauh dari sistem feodal; hanya mementingkan dirinya dan kroninya.
Fenomena serangan fajar menunjukan bahwa pemerintah dan pemegang kuasa tak ubahnya seperti Marie Antoinette yang melempar kue pada budak-budak miskin. Suara untuk 5 tahun dibeli dengan seliter minyak goreng dan beberapa genggam beras. Ada lagi yang sangat mengganggu, banyak diantara petinggi politisi yang berkontestasi menggunakan cara yang rendah, licik, kotor, biadab seperti memanfaatkan kemabukan sebagian besar masyarakat pada agama. Baik, ada dua hal yang harus dijabarkan disini.
Mabuk agama. Masyarakat tidak bisa memahami dan kritis terhadap ajaran agama yang ia dapat/baca, banyak dari mereka berorientasi pada pilihan turun temurun dan berserah pada struktur yang sudah ada, contohnya organisasi keagamaan. Kurangnya pemahaman mengenai tauhid menyebabkan sebagian orang menghibahkan dirinya pada tokoh-tokoh yang dianggap penting pada organisasi keagamaan, yang mereka percayai itu adalah jalan yang paling aman dalam beragama. Kyai dan Gus paling banyak dicatut dalam pengambilan keputusan, pengaplikasian ajaran, dan bagaimana mereka bermasyarakat. Adapun ketika terdapat satu hal yang melenceng jauh dari tauhid, keluar dari ketentuan syariat, yang mana hal tersebut bertentangan dengan apa yang tertuang dalam Al Qur'an dan hadits serta ijma ulama, sebagian dari mereka tetap berpegang teguh pada pendapat tokoh, bukan berdasar keterangan yang shahih.
Begitupun dalam proses pemilihan kepala negara atau pemimpin daerah, terdapat startegi politik dimana partai politik menggandeng tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh terutama dalam oraganisasi keagamaan untuk meraih suara grassroot. Mudah digerakan, dimobilisasi, dibodohi dengan logistik, itulah ciri-ciri pengikut yang sedang dimabuk. Asal menyebut satu aliran, maka suarapun pasti didulang. Asal digerakan, dibuat propaganda, diimingi dengan kebijakan yang menyebut-nyebut pesantren. Tanpa dicari tahu visi misi, kebijakan, dan track recordnya. Tanpa mencermati apa yang akan terjadi bila suatu kebijakan benar-benar diterapkan. Asal manut pada Gus dan Kyia, sudah menjadi ibadah bahkan bagi segelintir yang mempercayainya.
Sudah pengetahuan politik minim ditambah mabuk agama, lengkaplah sudah syarat masyarakat menjadi budak di negeri demokrasi ini. Pembahasan mengenai demokarasi itu lain lagi.
Diluar semua cacat yang ditoreh pemerintah terhadap rakyat, sepertinya pendidikan masih menjadi hutang terbesar pemegang kuasa terhadap pemegang tertinggi kuasa, pemerintah kepada rakyat. Saya yakin ketika suatu bangsa sudah memiliki kualitas sumber daya yang mumpuni, maka kritik dan saran itu akan nyata adanya. Kritik dan saran yang berasal dari para pemikir yang berorientasi pada hajat hidup orang banyak. Penulis yakin bahwa pendidikan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai harga diri dan kedudukannya.
Hutang tetaplah hutang. Lihatlah bagaiamana pemerintah memperlakukan rakyatnya layaknya budak yang dungu. Sayangnya kami adalah yang percaya adanya surga dan neraka. Mulai dari logika mistika sampai carut marut propaganda agama, mereka yang bertanggung jawab dengan sengaja memelihara kebodohan dan kedunguan rakyat untuk kepentingan pribadi dan golongannya, kedunguan itu justru yang akan mengejar dan mengahantui mereka sampai ke dasar neraka!
Komentar