Langsung ke konten utama

Catatan 81

      Ada yang pongah berjalan tegap menginjak hampa kelam nasib orang lain yang hanya dianggap debu dunia. Ada yang berusaha menjadi Tuhan dalam hidupnya. Maka jangan menyalahkan mereka yang memicingkan mata mendengar kata agama karena bagi mereka itu hanya sebatas dogma. Apa yang disampaikan orang berbaju agama hanya karena merasa diri lebih mengenal Tuhan adalah seburuk-buruknya salah paham terhadap dirinya sendiri. Rasa malu yang ditimbulkan karena kesalahpahaman tersebut sangatlah tinggi sampai membuat seseorang tidak sanggup menatap bayang di cermin. Apa yang disampaikan hanyalah belati tajam yang mengiris setiap aib, mengupas cangkang luka seolah diri hidup hanya untuk dipermalukan iblis jahanam. Siapapun itu; pemulung, pengamen, pramuria yang menjajakan tubuh agar anaknya bisa makan. Pencuri motor, remaja yang melumuri tubuh dengan cat perak, hingga mereka yang bergelut di terminal, semua berhak selamat dari dogma, stigma, dan prasangka. Namun itu hanyalah niscaya, sebab bagi mereka moral bukanlah suatu hal yang membuat mereka kenyang. Dalam agama memanglah apa yang dikerjakan sebagian dari mereka itu dzalim, daif, dan sebutlah tidak ada pantas. Namun mereka pantas dilihat dan diperlakukan sebagai manusia. Sebaik-baiknya mengerti adalah tidak memaksa siapapun untuk mengerti. Dosa dan ego bukanlah instrumen yang tepat untuk seseorang menentukan dosa manusia lain. Kita semua sama di hadapan Tuhan. Aku, hanya diberikan semangkuk lebih banyak keberuntungan karena aibku yang ditutup rapat. Ada yang menjadi Tuhan dalam hidupnya, sombong merasa mampu menanggung banyak beban, padahal sungguh tidak ada sedikitpun di pundaknya itu ia mampu memikulnya selain karena kebaikan dan kasih Tuhan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

22 Mar 2025

Sastra adalah jalan menuju kedalaman pikir yang sangat humanis. Sastra adalah jalan menuju imaji yang berkelana, menyusuri ruang-ruang pikir yang liar, mengikis ceruk-ceruk kepala yang keras akan ego dan pikiran yang tertinggal. Sastra adalah rupa kehidupan yang tidak terbayang di sebegaian benak, membuka mata dan hati untuk maklum dan empati. Jika ada pihak yang membenci karya tulis terlepas yang ada didalamnya, maka sisi humanitasnya dipertanyakan. Siapa yang takut pada buku yang tidak bernyawa? Mengapa? Karena sejatinya sebuah karya dibuat oleh hati yang terbuka dan kepala yang berpikir. Maka bukan ia takut pada buku, melainkan takut pada buah pikir. Buah pikir yang mampu melahirkan kesadaran, kecerdasan, pemahaman, kebijaksanaan. Buah pikir yang mampu melahirkan perlawanan terhadap angkara murka yang sengaja memelihara kebodohan dan IMPUNITAS . Pahitnya, borok-borok itu justru terdapat pada pemimpin negara republik yang dibangun oleh keringat, darah, dan air mata---bahkan nyawa. Di...
Bap, I lost again. Aku tidak bisa menemukan yang seperti kamu di dunia yang berhampar-hampar ini. Yang ada mereka lebih dari kamu, Bap— dan aku tidak bisa. Aku tidak bisa menyamakan pucuk pada pohon yang kami tanam. Aku takut, jika terus saja begini, rantingnya akan patah dan aku jatuh, lagi dan lagi. Ahh Bap… how’s heaven? Boleh aku ikut saja kesana di pangkuan Bap? Kami tidak membawa bunga Bap kemarin, kami membawa hati yang penuh seperti yang sudah-sudah. Aku merasa Bap sudah menunggu ya dari sana? Selamanya Bap akan hidup dalam hati kami, dalam do’a kami, dalam tulisan ini.  Salam cinta untuk Bap, we miss you a lot🤍