Langsung ke konten utama

Catatan 82

  Aku berdiri kembali pada ambang kesadaran mengenai nilai dan keyakinan yang dicari setiap insan ditengah gemerlap semesta. Meskipun kesadaran-kesadaran akan keTuhanan telah didapat, meskipun nilai-nilai sastra dan budaya yang sangat humanis telah diregup, meskipun buku-buku telah selesai dibaca, puisi-puisi kembali terbuka, dan roda kehidupan berganti, manusia tetaplah manusia --tidak luput dari duri dan lumpur yang hina. Terkadang membutakan mata, menghilangkan ketenangan diri, melenyapkan sebagian damai, bahkan aku tidak mengenali diriku. 

  Dewasa ini, seperti begitu dicintai aku oleh semesta. Bukan karena keberuntungan yang bertubi-tubi, justru kegagalan yang bertubi. Setiap kulihat langit malam penuh bintang nan terang bulan diatas sana, saat itu juga aku merasa langit mengolokku atau aku yang begitu kecil dan hitam untuk suatu keindahan yang sebenarnnya tidak tergantung pada rasa seorang insan. Justru keindahan itu disajikan mungkin untuk menghibur mahluk payah ini. Semesta memaksa agar aku mengeruk tanah-tanah kesombongan dan meluaskan sabar, tumbuhlah kembali taman bungan dalam hati. Semesta suka pada insan yang lapang --katanya. Daripada dicintai semesta, aku lebih memilih menyelematkan diri dari jurang keruntuhan yang dalam. Sebelum semua menjadi debu, aku cepat-cepat memaksakan sabar dan melapangkan dada. Walau sesak. Walau perih. 

  Tiada yang menjamin bahwa hati manusia tetap akan kokoh bagaimanpun derita dan duka yang telah ia lewati dalam pentas kehidupan. Hati manusia adalah hal yang paling mudah berubah --dan terkutuk. Maka salah jika manusia mempercayai rasa dan karsanya sendiri. Terlalu angkuh untuk hal seperti: menolak bahwa sebenarnya hati manusia selalu digenggam oleh pemiliknya. Terlalu mengandalkan perasaan dan upaya sendiri hanya membuahkan nihil. Lalu apa? aku tidak tahu. Aku hanya memejam mata dan memohon. Yang ada dikepala hanya hamba seharusnya memohon dan turut. Lalu apa lagi? aku tetap tidak tahu. Tidak ada yang tahu kemana selanjutnya pikiranku mengarah dan tubuhku bergerak, tidak juga aku --aku tidak tahu.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

22 Mar 2025

Sastra adalah jalan menuju kedalaman pikir yang sangat humanis. Sastra adalah jalan menuju imaji yang berkelana, menyusuri ruang-ruang pikir yang liar, mengikis ceruk-ceruk kepala yang keras akan ego dan pikiran yang tertinggal. Sastra adalah rupa kehidupan yang tidak terbayang di sebegaian benak, membuka mata dan hati untuk maklum dan empati. Jika ada pihak yang membenci karya tulis terlepas yang ada didalamnya, maka sisi humanitasnya dipertanyakan. Siapa yang takut pada buku yang tidak bernyawa? Mengapa? Karena sejatinya sebuah karya dibuat oleh hati yang terbuka dan kepala yang berpikir. Maka bukan ia takut pada buku, melainkan takut pada buah pikir. Buah pikir yang mampu melahirkan kesadaran, kecerdasan, pemahaman, kebijaksanaan. Buah pikir yang mampu melahirkan perlawanan terhadap angkara murka yang sengaja memelihara kebodohan dan IMPUNITAS . Pahitnya, borok-borok itu justru terdapat pada pemimpin negara republik yang dibangun oleh keringat, darah, dan air mata---bahkan nyawa. Di...
Bap, I lost again. Aku tidak bisa menemukan yang seperti kamu di dunia yang berhampar-hampar ini. Yang ada mereka lebih dari kamu, Bap— dan aku tidak bisa. Aku tidak bisa menyamakan pucuk pada pohon yang kami tanam. Aku takut, jika terus saja begini, rantingnya akan patah dan aku jatuh, lagi dan lagi. Ahh Bap… how’s heaven? Boleh aku ikut saja kesana di pangkuan Bap? Kami tidak membawa bunga Bap kemarin, kami membawa hati yang penuh seperti yang sudah-sudah. Aku merasa Bap sudah menunggu ya dari sana? Selamanya Bap akan hidup dalam hati kami, dalam do’a kami, dalam tulisan ini.  Salam cinta untuk Bap, we miss you a lot🤍