Tidak ada teduh dimatanya, tidak juga kuncup atau rekah bunga-bunga pada taman jiwanya. Aku hempaskan sisa-sisa benih yang kering nan tidak jadi ditanam-pada hatiku, pada jiwaku. Tidak ada puisi dari mulutnya, tidak ada merona di pipinya, tidak nampak gairah yang semestinya ada dalam hidup seorang pujangga. Dalam situasi berandai-andai, mungkin ia menjadikanku perahu kertas. Seolah bisa berlayar padahal nihil. Sopan santun yang tinggi, jujurnya sikap dan lembutnya tutur adalah yang paling menarik hati —dan itu tidak nampak ada. Bilakah waktu memutar menuju dimana benih disemai, aku memilih untuk berhenti menyirami tanah dengan kebohongan, tuai saja kerontang dan nihil hasil karena itu lebih baik dibanding menumbuhkan benalu.
Burung-burung terperanjat kesana-kemari mencari teduhan, aku bertopang dagu menengadah langit kelabu, Tuhan biarlah aku tenggelam dalam nasib dan takdir yang telah selesai Engkau tulis. Tidak rela aku terjatuh pada lubang yang berkali-kali membangunkan Sugriwa pada cacat jiwaku. Sudah sepantasnya seorang hamba tidak berlaga didepan Tuhan-Nya. Ini aku Tuhan, jika paras ini berhasil menggaet kumbang keatas teratai, maka jadikanlah ia sebaik-baiknya kumbang, yang tidak membawa kerusakan pada warna dan mahkota, yang damai dan lirih dalam berbisik memuji pencipta alam. Lebih berkesan lagi, jika ia tidak tertarik pada warna paras, tetapi pada makna mengapa Engkau ciptakan warna paras teratai indah diatas riak-riak air. Sungguh tidak akan kudapati ia seperti kumbang yang terpana pada makna.
Komentar