Langsung ke konten utama

Jujur saja

     Kala hujan, aku suka berdiri di muka jendela. Air memercik, angin berhembus membelai. Ini juli, aku sangat suka angin bulan juli dan bulan desember. Aku berdiri, hanya berdiri, memeperhatikan --apapun yang tertangkap mataku. Seringnya, burung-burung mengejek aku yang tolol, kadang kami tertawa bersama. Terdengar seperti tawa. 
     Dalam hening imajiku, aku menyimpan baik segala perasaan yang menerjang tubuh dan jiwa saat ini. Disimpan untuk musim berikutnya yang kemungkinan besar perasaan-perasaan tersebut sulit kurasa. Manusia dinamis, manusia tumbuh. Segala kengerian akan pudar bersama tumbuhnya aku atau matinya aku. Si tolol ini memohon hidup yang penuh makna, maka inilah makna. Segala kegagalan, ketertinggalan, ketidaktercapaian yang mengikuti diri lagi dan lagi adalah yang membawaku pada makna itu sendiri. Tuhan benar, apapun yang aku mohon akan Dia berikan. Namun aku sering terlalu bodoh dan tidak mengerti bahasa semesta. Berputar-putar pada sikap kurang ajar --manusia yang tidak bersyukur.
     Maka yang kuniatkan adalah hidup dengan jujur saja mulai dari saat itu. Jujur kepada Tuhan bisa sangat panjang pembahasannya, yang ada kita mengantuk. Namun definisi paling malas adalah berhenti membuktikan kepayahan orang lain. Ketika aku kesakitan karena omong dan kata, aku seolah mendapat kekuatan baru untuk bertahan sebentar lagi, untuk menghadapi rasa sakit. Semua itu bukan karena aku ingin hidup, melainkan membuktikan dia yang omongnya besar akan melihat dirinya sendiri jatuh dan payah. Maka aku berhenti hidup seperti itu. Berhenti hidup untuk melihat dan membuktikan kepayahan orang lain. Kita payah pada hal-hal tertentu. Aku tidak berpura-pura bahagia, tidak berpura-pura sengsara, hidup berakhir seperti ini juga tidak mengapa.
     Beberapa tidak berani melangkah karena tidak menyadari hak hidup mereka, tidak menghendaki otoritas mereka terhadap diri sendiri yang seharusnya tidak terkungkung pada hal yang menghilangkan kedamaian, memotong sayap kebijaksanaan. Berbagai alasan, yang paling payah adalah karena hutang budi. Ya, kita payah pada hal tertentu. 
     Jika hanya melihat bentangan langit bertabur bintang hati menjadi hangat, mengapa hati begitu kuat pada pengakuan mahluk? Jika dengan melepaskan dan penerimaan, bunga-bunga jiwa itu tumbuh kembali --mengapa begitu bebal diri mempertahankan? Jika cinta tidak cukup kuat untuk menahan seorang melangkah menuju lautan dan menghilang, mengapa masih banyak yang bergantung sepenuhnya pada cinta? Jika tidak ada jawaban yang konkret mengenai hati dan rasa, mengapa semua rasa masih perlu dipertanyakan? 
     Ah, aku simpan baik semua rasa ini untuk nanti ketika musim berganti, ketika rasa berganti, ketika aku berubah, ketika aku jatuh cinta, ketika aku menemukan separuh jiwaku. Aku tidak selalu ada dalam mode waspada, aku rentan pada waktu tertentu --seperti sekarang. Jika aku harus mematahkan tulangku untuk melupakan luka, percayalah semua sudah remuk. 
    Aku, jarang sekali aku menggunakan aku pada sudut pandang. Namun inilah aku, dengan segala ke-akuanku. Tidak ada beda, tidak berubah rupa, hanya sedikit tengah berduka --ah, sudah biasa.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

22 Mar 2025

Sastra adalah jalan menuju kedalaman pikir yang sangat humanis. Sastra adalah jalan menuju imaji yang berkelana, menyusuri ruang-ruang pikir yang liar, mengikis ceruk-ceruk kepala yang keras akan ego dan pikiran yang tertinggal. Sastra adalah rupa kehidupan yang tidak terbayang di sebegaian benak, membuka mata dan hati untuk maklum dan empati. Jika ada pihak yang membenci karya tulis terlepas yang ada didalamnya, maka sisi humanitasnya dipertanyakan. Siapa yang takut pada buku yang tidak bernyawa? Mengapa? Karena sejatinya sebuah karya dibuat oleh hati yang terbuka dan kepala yang berpikir. Maka bukan ia takut pada buku, melainkan takut pada buah pikir. Buah pikir yang mampu melahirkan kesadaran, kecerdasan, pemahaman, kebijaksanaan. Buah pikir yang mampu melahirkan perlawanan terhadap angkara murka yang sengaja memelihara kebodohan dan IMPUNITAS . Pahitnya, borok-borok itu justru terdapat pada pemimpin negara republik yang dibangun oleh keringat, darah, dan air mata---bahkan nyawa. Di...
Bap, I lost again. Aku tidak bisa menemukan yang seperti kamu di dunia yang berhampar-hampar ini. Yang ada mereka lebih dari kamu, Bap— dan aku tidak bisa. Aku tidak bisa menyamakan pucuk pada pohon yang kami tanam. Aku takut, jika terus saja begini, rantingnya akan patah dan aku jatuh, lagi dan lagi. Ahh Bap… how’s heaven? Boleh aku ikut saja kesana di pangkuan Bap? Kami tidak membawa bunga Bap kemarin, kami membawa hati yang penuh seperti yang sudah-sudah. Aku merasa Bap sudah menunggu ya dari sana? Selamanya Bap akan hidup dalam hati kami, dalam do’a kami, dalam tulisan ini.  Salam cinta untuk Bap, we miss you a lot🤍