Kala hujan, aku suka berdiri di muka jendela. Air memercik, angin berhembus membelai. Ini juli, aku sangat suka angin bulan juli dan bulan desember. Aku berdiri, hanya berdiri, memeperhatikan --apapun yang tertangkap mataku. Seringnya, burung-burung mengejek aku yang tolol, kadang kami tertawa bersama. Terdengar seperti tawa. Dalam hening imajiku, aku menyimpan baik segala perasaan yang menerjang tubuh dan jiwa saat ini. Disimpan untuk musim berikutnya yang kemungkinan besar perasaan-perasaan tersebut sulit kurasa. Manusia dinamis, manusia tumbuh. Segala kengerian akan pudar bersama tumbuhnya aku atau matinya aku. Si tolol ini memohon hidup yang penuh makna, maka inilah makna. Segala kegagalan, ketertinggalan, ketidaktercapaian yang mengikuti diri lagi dan lagi adalah yang membawaku pada makna itu sendiri. Tuhan benar, apapun yang aku mohon akan Dia berikan. Namun aku sering terlalu bodoh dan tidak mengerti bahasa semesta. Berputar-putar pad...
Aku berdiri kembali pada ambang kesadaran mengenai nilai dan keyakinan yang dicari setiap insan ditengah gemerlap semesta. Meskipun kesadaran-kesadaran akan keTuhanan telah didapat, meskipun nilai-nilai sastra dan budaya yang sangat humanis telah diregup, meskipun buku-buku telah selesai dibaca, puisi-puisi kembali terbuka, dan roda kehidupan berganti, manusia tetaplah manusia --tidak luput dari duri dan lumpur yang hina. Terkadang membutakan mata, menghilangkan ketenangan diri, melenyapkan sebagian damai, bahkan aku tidak mengenali diriku. Dewasa ini, seperti begitu dicintai aku oleh semesta. Bukan karena keberuntungan yang bertubi-tubi, justru kegagalan yang bertubi. Setiap kulihat langit malam penuh bintang nan terang bulan diatas sana, saat itu juga aku merasa langit mengolokku atau aku yang begitu kecil dan hitam untuk suatu keindahan yang sebenarnnya tidak tergantung pada rasa seorang insan. Justru keindahan itu disajikan mungkin untuk menghibur mahluk payah in...