Langsung ke konten utama

Postingan

Jujur saja

     Kala hujan, aku suka berdiri di muka jendela. Air memercik, angin berhembus membelai. Ini juli, aku sangat suka angin bulan juli dan bulan desember. Aku berdiri, hanya berdiri, memeperhatikan --apapun yang tertangkap mataku. Seringnya, burung-burung mengejek aku yang tolol, kadang kami tertawa bersama. Terdengar seperti tawa.       Dalam hening imajiku, aku menyimpan baik segala perasaan yang menerjang tubuh dan jiwa saat ini. Disimpan untuk musim berikutnya yang kemungkinan besar perasaan-perasaan tersebut sulit kurasa. Manusia dinamis, manusia tumbuh. Segala kengerian akan pudar bersama tumbuhnya aku atau matinya aku. Si tolol ini memohon hidup yang penuh makna, maka inilah makna. Segala kegagalan, ketertinggalan, ketidaktercapaian yang mengikuti diri lagi dan lagi adalah yang membawaku pada makna itu sendiri. Tuhan benar, apapun yang aku mohon akan Dia berikan. Namun aku sering terlalu bodoh dan tidak mengerti bahasa semesta. Berputar-putar pad...
Postingan terbaru

Catatan 82

  Aku berdiri kembali pada ambang kesadaran mengenai nilai dan keyakinan yang dicari setiap insan ditengah gemerlap semesta. Meskipun kesadaran-kesadaran akan keTuhanan telah didapat, meskipun nilai-nilai sastra dan budaya yang sangat humanis telah diregup, meskipun buku-buku telah selesai dibaca, puisi-puisi kembali terbuka, dan roda kehidupan berganti, manusia tetaplah manusia --tidak luput dari duri dan lumpur yang hina. Terkadang membutakan mata, menghilangkan ketenangan diri, melenyapkan sebagian damai, bahkan aku tidak mengenali diriku.    Dewasa ini, seperti begitu dicintai aku oleh semesta. Bukan karena keberuntungan yang bertubi-tubi, justru kegagalan yang bertubi. Setiap kulihat langit malam penuh bintang nan terang bulan diatas sana, saat itu juga aku merasa langit mengolokku atau aku yang begitu kecil dan hitam untuk suatu keindahan yang sebenarnnya tidak tergantung pada rasa seorang insan. Justru keindahan itu disajikan mungkin untuk menghibur mahluk payah in...
  Take the time just to listen When the voices screaming are much too loud Take a look in the distance Try and see it all Chances are that you might find That we share a common discomfort now I feel I'm walking a fine line Tell me only if it's real Still, I'm on my way (On and on it goes) Vacant hope to take Hey, I can't live in here for another day Darkness has kept the light concealed Grim as ever Hold on to faith as I dig another grave Meanwhile, the mice endure the wheel Real as ever And it seems I've been buried alive I walked the fields through the fire Taking steps until I found solid ground Followed dreams, reaching higher Couldn't survive the fall Much has changed since the last time And I feel a little less certain now You know, I jumped at the first sign Tell me only if it's real Memories seem to fade (On and on it goes) Wash my view away And I'm chained like a slave Trapped in the dark Slammed all the locks Death calls my name And it seems I...

Kumbang pada Teratai

  Tidak ada teduh dimatanya, tidak juga kuncup atau rekah bunga-bunga pada taman jiwanya. Aku hempaskan sisa-sisa benih yang kering nan tidak jadi ditanam-pada hatiku, pada jiwaku. Tidak ada puisi dari mulutnya, tidak ada merona di pipinya, tidak nampak gairah yang semestinya ada dalam hidup seorang pujangga. Dalam situasi berandai-andai, mungkin ia menjadikanku perahu kertas. Seolah bisa berlayar padahal nihil. Sopan santun yang tinggi, jujurnya sikap dan lembutnya tutur adalah yang paling menarik hati —dan itu tidak nampak ada. Bilakah waktu memutar menuju dimana benih disemai, aku memilih untuk berhenti menyirami tanah dengan kebohongan, tuai saja kerontang dan nihil hasil karena itu lebih baik dibanding menumbuhkan benalu.  Burung-burung terperanjat kesana-kemari mencari teduhan, aku bertopang dagu menengadah langit kelabu, Tuhan biarlah aku tenggelam dalam nasib dan takdir yang telah selesai Engkau tulis. Tidak rela aku terjatuh pada lubang yang berkali-kali membangunkan ...

Menuntun kewarasan

  Menggelitik sisa otak kosongku, gagasan mengenai penyerangan individu mengatasnamakan kebijaksanaan. Harus aku pertanyakan lagi, apakah semua peperangan itu dilakukan atas nama cinta dan kasih atau sebuah perilaku mempertahankan kesukaan terhadap ide kepemilikan atau otoritas terhadap entitas yang disebut laki-laki? Apakah itu merupakan perilaku mempertahankan daya supaya tetap pada kelas yang tinggi, tidak disalahkan, bisa menyalahkan, merupa merana dan kuat tahan banting? Otak jongkok seperti punyaku, tidak bisa memahami perilaku tinggi berdiri macam itu. Kalaulah bisa ingin kutarik kakimu sebelum terbang pada asap sekam, pijaklah tanah! Pijaklah tanah! Sebelum merajut cinta, bertali kasih, menjahit rindu, pijaklah tanah! 
Bap… sore nanti, mungkin rumah itu akan selesai, berdiri dengan kokoh dan hangat. Disertai temaram lampu kasih yang membuat jiwa merasa cukup dan utuh. Mungkin sore nanti Bap, jika tidak… besok sore, besok lagi, lagi, lagi dan lagi.  Merajut benang cinta pada serpihan-serpihan kain hati adalah laksana berjalan pada lorong gelap. Hanya keyakinan bahwa ujung yang berpendar itu adalah titik temu kelapangan, kebahagiaan, kebijaksanaan, kemesraan. Hanya harapan bahwa lengan ini mampu merajut asa dan sukacita.    Kita hanya akan hidup sederhana, Bap. Tidak menuntut, tidak memaksa, tidak mengubah ia menjadi pesuruh. Begitu saja sudah sulit, apalagi yang hidup berbalut tuntutan. Ia yang sudah mengenal dan menyentuh hatinya akan mengerti bagaimana memperlakukan hidup dan kehidupan, termasuk orang-orang didalamnya.  Mungkin rumahnya tidak jadi terlihat, namun aku masih disini. Masih dengan cinta dan kerinduan, untuk Bap— untuk Bap saja. Mungkin nanti sayap-sayap indah itu akan...

Aku

Bahkan di dunia berhampar penuh makna, ia masih belum mampu mencari makna dari pentingnya mengisi bejana yang kosong pada hati. Agar tidak mengemis kasih itu. Bodohnya, ia percaya pada hal yang merobek nilai sampai merelakan dirinya jatuh dan melebur. Diinjak-injaklah segala perawannya. Sangat menyakitkan, sangat menyedihkan. Bahkan kata imbang tidak pernah imbang. Tidak akan lagi ia membuka sedikit saja ruang di hatinya, sudah cukup berantakan. Mulai dari mana lagi ia? Mulai dari mana lagi aku?